Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Freelancer - Nomad Digital

Udik!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[RTC] Closed Circuit Television

9 November 2021   21:28 Diperbarui: 9 November 2021   21:54 344
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi CCTV | dekoruma.com

Tiba-tiba, seberkas cahaya perak menyeruak dari luar. Ada percikan, serupa nyala api yang dikirim dari langit. Seketika gelap memenuhi ruangan. Tak ada bayangan yang melintas. Mencekam. 

Sebuah wajah, dengan mata melotot menatap kamera. Lenso putih yang menutup setengah wajahnya bernoda percik darah.Matanya begitu bundar, seperti ingin melahap semua yang tersisa. Dingin. 

Listrik kemudian padam, gelap menutup seluruh kota. 

***

Jumat pagi. Wartawan dari seluruh penjuru tumpahruah di depan jalan. Polisi sibuk mengatur lalu lintas dan memasang police line. Memastikan jarak aman pewarta dengan tempat kejadian perkara. Beberapa stasiun televisi melakukan tayang live.

"Pemirsa, bisa kami laporkan jika pagi ini telah terjadi pembunuhan yang sadis pada kamis, malam tadi. Sekurangnya ada delapan korban jiwa. Polisi telah tiba di lokasi sejak subuh tadi. Tapi belum ada yang bersedia memberikan konfirmasi. Kami akan terus mengabarkan kepada Anda di rumah."

Dua buah ambulans meraung-raung dari arah utara. Tiba di perempatan yang sempit. Dua buah kantung mayat berwarna oranye diangkut lewat pintu belakang. Suasana mendadak gaduh. Tapi tak yang diijinkan melihat dari dekat. Di depan kafe, kerumunan pewarta bertambah riuh dengan penduduk kota yang gelisah.

"Semestinya kafe itu sudah lama ditutup."

Seorang ibu berkata. "Terlalu banyak kejadian mengerikan sejak dulu." Temannya menjawab. Di kota ini, kafe telah tumbuh seperti jamur. Tapi tak banyak yang bertahan.  Pojok. Salah satunya. Ia telah berdiri sejak masa-masa awal revolusi. Ketika huru-hara mengguncang kekuasaan, ia pernah menjadi saksi bisu dari pembantaian para perusuh.

Dia telah berganti-ganti nama namun tak berpindah tempat. Tak banyak warga kota yang sering ke sini. Terutama karena sejarahnya dipenuhi dengan cerita horor. Kepala warga kota hidup dengan rumor yang bilang ada banyak jiwa yang mati dan gentayangan di dalamnya. 

Dua ambulans kembali meraung-raung. Dua kantung mayat diberangkatkan lagi. Hujan mulai turun. Tapi keriuhan makin bertambah sesak. Sebuah wajah bermata bundar dengan lenso putih bernoda darah di malam gulita--hanya itu gambar terakhir yang terekam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun