Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Freelancer - Nomad Digital

Udik!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[RTC] Closed Circuit Television

9 November 2021   21:28 Diperbarui: 9 November 2021   21:54 344
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

16:30:12. Kamis.

Dua orang pria. Batik, celana bahan mengkilap. Rambut kelimis. Duduk di pojok, dengan dompet seukuran tas pinggang. 

Salah satunya membakar Avolution, lalu menghembuskan asap tipis. Berbicara dengan wajah yang tegang. Satunya lagi hanya terdiam. Tak merokok. Datang seorang pramusaji. Memberi menu, mengambil selembar kertas. Menunggu. Tak ada yang dicatatnya. Pramusaji berlalu, kembali ke meja bar. Dua pria itu kini terdiam di balik gawai. 

16:40:21. Langit mulai gelap. Sebentar lagi magrib. Dua pria berbatik itu masih tak memesan apa-apa. Masih belum meletakan gawai, tak bicara. Seorang perempuan, paruh baya dengan hot pants berjalan perlahan. Tungkainya yang panjang seperti lilin putih menuju meja di sebelah timur. Duduk, memandang ke meja bar, mengacungkan tangan. Sebuah panggilan.

18:00:00. Hujan pelan-pelan. Bulan November. Dua orang anak muda mulai mengatur tempat duduk, menyetel perlengkapan sound dan mulai memastikan mic. Salah satunya memainkan gitar.  Mereka masuk dari pintu belakang, yang tersambung dengan sebuah gang dan menghadap perempatan yang sepi. Tak ada lampu penerang jalan.

18:15:03. Pramusaji menghampiri meja. Tapi kedua pria itu masih saja tak memesan apa-apa. Sedang perempuan paruh baya kini membaca buku. STOP MEMBACA BERITA--Rolf Dobelli. Dua musisi itu terlihat sudah menyatu dengan tembang pilihannya. Urat besar terlihat menegang di leher sang vokalis. 

Pramusaji yang lain tiba di meja si perempuan, meletakkan secangkir putih dengan asap yang mengepul lembut. Sambil tersenyum, seperti mempersilahkan. Tapi perempuan itu tak menatapnya. 

18:30:22. Seorang lelaki menabrak pintu depan, udara dingin masuk seketika. Wajahnya penuh riasan yang rusak karena hempasan hujan. Hidungnya berwarna merah, seperti tomat. Sepatunya kebesaran. Dia seorang badut tanpa wig. Basah kuyup dengan menenteng sebuah kotak. Orang-orang menatap ke pintu. Tapi perempuan itu tidak. Dia bahkan belum menyeruput isi cangkirnya. 

Badut yang kehujanan berjalan pelan ke meja bar. Di bangku tinggi dari kayu, dia duduk. Barista itu, perempuan, berbicara padanya. Lalu mengangguk dan bergeser ke coffee grinder. Badut itu menatap sekeliling. Wajahnya berhenti sebentar di panggung kecil, tempat kedua musisi muda bersenandung. Dia lalu mengusap jemarinya. Sebuah cincin dengan batu akik terselip di sana. 

19:00:01. Perempuan itu masih membaca buku, kedua musisi tetap bernyanyi. Dua pria berbatik masih terdiam di depan gawai. Si badut masih mengusap jari manisnya. Rinai hujan turun di balik jendela, lebih lebat dari sebelumnya. Tak ada pengunjung yang datang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun