Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Freelancer - Nomad Digital

Udik!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Poros Bernama "U"

16 Oktober 2021   22:31 Diperbarui: 17 Oktober 2021   14:15 407
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lelaki Senja | Pixabay

U telah melewati tahun-tahun yang tidak mudah bagi sembarang orang, termasuk aku. 

Pada suatu waktu, U pernah ingin sekali menyatakan cintanya. Walau terhadap nyalinya sendiri, U membutuhkan keheningan yang tak sedikit, sekadar berbicara dengan sisi dirinya yang sedang tegang, dihisap khawatir sekaligus dimuntahkan penasaran. 

Jadi dia berusaha tak terburu-buru, yang ternyata jauh lebih sulit dari mengendalikan keringat dingin.

Hari itu, sekardus bingkisan tiba. Bulan sedang tua dan semua jiwa di kosan yang lengang meyakini pertolongan dari rumah bukan saja sejenis rahasia, namun juga adalah bentuk dari rindu yang keras kepala. 

Sebungkus pia Saronde ada di antara bingkisan yang harus dijemput di terminal antar kota. Membayangkan sore yang tenang dari teras rumah panggung yang menghadap jalan sebagai latar dari percakapan-percakapan adalah kerutinan yang asyik.

Tapi, pia berasa keju itu hanya mampir sebagai kabar. Wujudnya telah raib. U membawanya kepada seseorang yang telah memaksanya menabung keringat dingin lebih banyak dari biasanya. 

Tak ada yang tahu hingga, tampaknya perkara ini juga dilewatkan U, bahwa menyatakan cinta yang berbisik-bisik melewati udara malam, adalah kesulitan berikut sesudah jangan terburu-buru dan kendalikan keringat dinginmu!

Maka kisah pia Saronde itu seketika berubah arahnya. Dari romantisme yang lugu menjadi kekonyolan yang riuh. 

Perempuannya berkata begini, "Kau telah datang kepadaku, membawa nyali juga kebaikan yang kau sembunyikan dari teman-temanmu. Bicaralah jika ada yang mesti kau sampaikan."

Lidah U terlanjur kaku, sedikit mencuri-curi tatap saja bahkan tak kuasa. Kata-kata seolah racun, mencekik tenggorokan. Mati rasa, mati gaya. Wajahnya mungkin biru di teras kamar yang sempit dan berderet itu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun