Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Freelancer - Nomad Digital

Udik!

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Kita Mungkin Berlebihan soal Pandji, tapi... Inter Milan kok Begitu, ya?

24 Januari 2021   09:24 Diperbarui: 24 Januari 2021   11:40 543
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: platofootnote.files.wordpress.com

Membandingkan peran Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah dengan Front Pembela Islam (FPI) di tengah kehidupan sehari-hari jelata adalah kerja pikiran yang naif jika dua yang pertama sampai disebut elitis dan berjarak. 

Pandji Pragiwaksono rasanya terlalu bersemangat membela posisinya yang menolak pembubaran FPI. Baginya, politik pembubaran bukan cara yang efektif, kalau bukan kontraproduktif. Akar masalahnya tidak di sana, bukan pada keberadaan organisasinya. 

Akarnya ada pada sikap kepedulian pada sesama; kepada aksi sosial. Karena itu yang dilakukan negara adalah menghancurkan jasad, bukan memadamkan spirit/ruhnya.  

Sayangnya, komedian yang katanya bisa menyanyi, presenter, penyiar radio juga menulis buku ini mengabaikan satu fakta penting jika dua organisasi keagamaan yang usianya lebih tua dari usia proklamasi kemerdekaan hanya mungkin bertahan jika akar-akarnya kuat di keseharian jelata--termasuk di Jakarta, saya kira. 

Pandji mengabaikan narasi historis dari kemampuan dua organisasi ini melewati pasang surut zaman. Kalau tidak memiliki strategi kebudayaan yang mumpuni, niscaya akan keteteran. Pandji mungkin belum pernah tahu sejarah NU di zaman Orde Baru. 

Sebenarnya, bagi saya ya, kalau kita melihat video Pandji dengan Afif Xavi dan Fikri Kuning. Dua anak muda komika Jakarta yang bergaul dengan atau hidup di lingkungan FPI. Dari videonya, saya kira tidak ada yang patut menimbulkan reaksi berlebihan. 

Pandji memang berkeinginan agar diskusi bertiga itu memberi sudut pandang yang berbeda soal FPI. Melihat FPI yang untold story-lah, kira-kiranya. Barangkali ada sisi yang belum kita kenali. Sisi yang niscaya ada, menjadi alasan, karena "kekosongan peran (profetik)"--situasi yang mendorong timbulnya kesimpulan berjarak dan elitis itu. 

Coba deh nonton sejenak videonya.   


Saya sih setuju, dalam perspektif perubahan sosial, situasi kekosongan dan ketidakpedulian sosial-ekonomi  di tengah produksi ruang urban yang kapitalisitik, populisme (kanan atau kiri) mudah berkecambah walau belum tentu bernafas panjang. Apalagi di level Jakarta, yang menurut teman saya, adalah tempat dari segala rupa tragedi mengambil panggungnya. Ngeri ih! 

Dalam produksi ruang hidup yang kapitalistik dimana yang kuat akan selalu sukses memenangkan pertarungan merebut sumber-sumber prosumsi kolektif, saya malah lebih gak kebayang aja andai NU atau Muhammadiyah melepas seluruh falsafah jalan moderatnya. Andai dua ormas ini tidak mengambil ruang-ruang kosong-sunyi-menuntut konsistensi dan pengorbanan-yang semestinya diurus negara beserta segenap sumberdaya miliknya. Yakin saja, kamu gak bakal melihat NKRI tegak menuju satu abad. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun