Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Freelancer - Nomad Digital

Udik!

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Artikel Utama

Poster dan Politik, Apa Kabar Kotak Suara?

17 November 2020   09:42 Diperbarui: 18 November 2020   12:04 418
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Kotak Suara| RA2STUDIO/123RF via Katadata.co.id

Cukuplah karya nyata sebagai pengingat. Sebab politik mula-mula bukan monumen bagi narsisme segelintir untuk kebanyakan.

Masih adakah sebuah kota dimana kita tidak menjumpai baliho, spanduk atau poster-poster yang memuat wajah dan deretan kalimat usang dari penguasanya? Setidaknya, dari orang-orang yang merasa sedang berkuasa atau sedang berebut kuasa?

Bukankah sekarang di desa-desa, rasa-rasanya, kebiasaan memposterisasi diri juga mulai berkecambah (cieeh, kayak taoge saja). Apalagi di musim politik, apa yang membedakan kota dan desa di depan poster-poster seringkali tak ada lagi.

Masih terbayang-bayang di ingatan Pada suatu musim politik di negeri ini, pernah ada seseorang caleg untuk Dewan Perwakilan Daerah (DPD) digugat karena wajahnya terlalu cantik di posternya. Menurut si penggugat yang laki-laki, perempuan itu terpilih karena manipulasi hasil editan.
Gugatan ini merupakan kasus pertama dalam pemilu Indonesia. 

Kalau sudah lupa, kamu bisa mengingat lagi di artikel yang ditulis BBC. Indonesia dengan judul Kasus Evi Apita Maya: Sengketa Pertama "Foto Cantik" dalam Pemilu Indonesia.  

Poster dan Politik; Sebuah Riwayat Singkat ala Saya
Konon, sejarah poster dan politik adalah bagian dari sejarah protes. Sebuah cara yang digunakan untuk membangun propaganda tandingan terhadap kekuasaan yang opresif. Karena itu juga, poster adalah siasat yang digunakan untuk membentuk "kesadaran kolektif" dari mereka yang diinjak-injak martabat kemanusiaannya.

Saya terus teringat penggal pendek dalam sejarah politik modern Indonesia. Penggal pendek sesudah kejatuhan The Smiling General.

Waktu itu tradisi protes sedang mengurangi titik didihnya. Saya tiba di sebuah kampus dengan narasi perlawanan terhadap Orba yang tidak banyak terekam kata-kata. Kebetulan, fakultas yang saya tuju adalah motor dari penggerak, beberapa senior adalah pelaku di garis depan (Avant Garde). Dengan kepala lugu yang dibentuk oleh kisah-kisah Tanah Papua, saya diajari metode protes juga pada akhirnya. 

Tapi bukan pada bagian metode protes itu yang penting di cerita kali ini. 

Yang saya kenang adalah bagaimana propaganda jalanan disiapkan untuk membangun narasi tandingan atas kebijakan politik negara. Persisnya, bagaimana media propaganda diproduksi secara swadaya, bukan bagaimana kontennya. Saat itu, teknologi editing dan percetakan masih sederhana juga mahal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun