Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Freelancer - Nomad Digital

Udik!

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Artikel Utama

Poster dan Politik, Apa Kabar Kotak Suara?

17 November 2020   09:42 Diperbarui: 18 November 2020   12:04 418
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Kotak Suara| RA2STUDIO/123RF via Katadata.co.id

Dan manakala berkuasa, dia harus bisa menunjukan posisinya sebagai kepemilikan semua orang dengan posterisasi yang masif. Tidak terlalu penting itu terlihat sebagai manifestasi dari hasrat narsistik, dia yang terpilih selalu harus terlihat ada dimana-mana.

Sekalipun itu dipelihara dengan kata-kata usang dan teknologi editing yang makin pintar menyamarkan kenyataan dan tiruan. 

Bukankah politik adalah seni mengelola kemungkinan (the Art of Possible, the attainable -the Art of the Next Best, demikian kata Otto von Bismarck)? Yang karena itu, apa saja boleh dimanipulasi selama potensi mendulang suara bisa dikalkulasikan. Terukur dan terpantau. 

(Mulai deh, sinisnya...)

Politik poster lalu menjadi penyumbang bagi elektoralisme berbiaya mahal. Belum lagi produksi sampah paska musim elektroalnya. Tapi mungkin bagi kebanyakan orang ini harga yang wajar dari negeri yang demokrasinya masih belajar, belajar--entah kapan matang terlembaga, kinyis-kinyis hitam manggis.

Jadi apa yang sedang mendefinisikan kita di antara mereka yang sedang berusaha meletakkan dirinya di dalam pikiran kita, berharap keputusan ditetapkan untuknya? Juga pada mereka yang sedang meneguhkan batas, mengingatkan diri sebagai yang pantas untuk satu kali lagi musim berkuasa? Ketika poster tidak lebih dari marketisasi diri dan produksi citra belaka?

Apa yang sedang ingin mereka langgengkan dalam pikiran-pikiran kita yang kelelahan dengan perburuan nafkah dan pencaharian kebahagiaan yang seringkali berbeda bumi Vs. langit bahkan mungkin doa-doanya?

Kita jelas tidak perlu pergi kepada Iwan Fals dan beramai-ramai menyanyikan Wakil Rakyat Bukan Paduan Suara! dan mendengarkan suara batin sendiri-sendiri. Apalagi sampai teriak, Di Jalanan, Kami Sandarkan Cita-cita! 

Kenang-kenanglah bahwa zaman protes sudah bergeser ke zaman tanding buzzeRp, kamerad. 

Selalu saja ada musim kotak suara dan demokrasi yang sesak nafas di dalamnya. Dan, yang jelata seperti saya: terus saja mabuk angan-angan dan menceracau di lampu merah. Pada hujan bulan November, ketika bidadari turun dari taksi--but love is always coming and love is always going.. 

Baah?! 

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun