Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Freelancer - Nomad Digital

Udik!

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Artikel Utama

Poster dan Politik, Apa Kabar Kotak Suara?

17 November 2020   09:42 Diperbarui: 18 November 2020   12:04 418
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Kotak Suara| RA2STUDIO/123RF via Katadata.co.id

Kebanyakan harus dikerjakan manual dan menuntut kerja mereka yang spesialis. Untuk satu demonstrasi, persiapan poster dan selebarannya butuh seminggu. Dengan catatan jam tidur yang dikurangi drastis. Giliran demonstrasi, kekurangan darah, berwajah pucat dan harus kena pentungan pula. Begitulah kira-kiranya. 

Semua dilakukan tanpa jaminan bahwa propaganda tandingan ini akan menarik atensi khalayak, menyatukan kelas-kelas sosial ke dalam satu isu bersama dan menuntut terjadinya perubahan kebijakan. 

Kehidupan politik kemudian bisa dikembalikan pada kepentingan khalayak, bukan permainan segelintir untuk segelintir. Politik Alternatif jauh lebih menderita dari menyiapkan poster dan rentetan protes, kekasih!

Sekarang poster dan politik tidak tumbuh dalam tradisi tunggal. Atau, lebih tepatnya telah menjadi ruang terbuka yang berhak digunakan oleh siapa saja dan terserah untuk apa saja. Terlebih, perkembangan teknologi editing dan percetakan membuatnya seperti menjual permen di lampu merah belaka. 

Poster dan Politik Elektoral: Apa yang Sedang Mendefinisikan Kita?     
Sampai sekarang, saya masih tidak mengerti mengapa poster, baliho, dkk-nya itu bisa sedemikian penting bagi politisi. Apalagi jika kelak sesudah pemilu, keadaan begitu-begitu saja.

Atau, lebih persisnya, bagi mereka yang merasa hidupnya adalah bagian yang tak terpisah dari hidup orang banyak. Mereka sedang mengurusi orang banyak itu. Sehingga dengan memposter-posteri diri seperti itu, orang banyak itu boleh merasa ada sosok yang sedang menyebut-menyebut dirinya bersama mereka. Ada orang yang sedang kelihatannya sih peduli gitu sama hidupmu. PD amat ya?

Kalaupun motif di atas terbaca berlebihan, mungkin kita bisa melihat kebiasan memposter-posteri diri sebagai usaha untuk meneguhkan golongan, kualifikasi, level dan kewenangan. 

Bahwa orang-orang di dalam poster itu berasal dari sosok yang telah memperjuangkan bla, bla, bla; sebagai individu yang sedang menjabat organisasi bla, bla, bla; sebagai orang nomor satu yang berjuang di garis depan kemiskinan (dan masih ingin di garis depan lagi tahun depannya). Singkat kata, orang ini tidak sedang merayumu. Ia sudah berbuat nyata, jangan lupakan!

Sampai di titik ini, paling kurang, memposterisasi diri bisa bermakna dua. Pada yang terakhir, dia sedang meneguhkan sekaligus menarik batas. Pada yang pertama tadi, posterisasi adalah kiat meletakkan diri di dalam pikiran orang kebanyakan. Dalam politik elektoral, ini adalah marketing politik.

Oke, baik, konsultan.

Sebab itu, kita mungkin bisa memahami ini sebagai praktik yang wajar dalam politik. Semua yang ingin meraih kursi kekuasaan harus bisa mengambil keputusan dari banyak orang, bukan sekadar mengambil kesan-kesan baik.  Posterisasi diri secara massif adalah salah satu bentuknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun