Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Freelancer - Nomad Digital

Udik!

Selanjutnya

Tutup

Music Artikel Utama

Musik Radio atau Cerita Bertetangga Secara Sendu

15 Oktober 2020   10:04 Diperbarui: 25 Oktober 2020   20:10 445
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Laman Twitter S Aji

Buah pikirannya dipuja, dibahas hingga level studi doktoral. Jangan main-main dengan kesenduan manusia.    

Di luar itu--kesenduan dan jejak kesadaran--saya justru disibukan dengan pertanyaan kapan terakhir kali bertetangga secara sendu? Oh ya, ketika menyusun kalimat ini, dari sebelah pagar terdengar, kowe lungo pas aku sayang-sayange. Aiih, hajaar. 

Sudah lama saya tidak mendengarkan kesenduan dari radio yang secara sengaja diniatkan demi didengarkan orang banyak. Kita tahu, zaman kiwari menyediakan banyak aplikasi dan teknologi pemutar lagu yang membuat khalayak bisa lebih terbantukan menikmati kesenduan. Zaman dimana kesenduan baru bisa diperoleh sesudah melobi penyiar sekadar untuk memesan lagu ini, dikirim untuk si dia yang sedang begini dan begitu pelan-pelan musnah. 

Orang-orang tidak perlu dimediasi karena mengirimkan tembang kenangan tertentu kepada orang tertentu. 

Tidak berlebihan jika kita mengatakan bahwa mendengarkan lagu adalah salah satu kesenangan manusia yang mengalami "teknoprivatisasi" dengan sangat cepat. Umat manusia bisa menarik ke batas paling tersembunyi untuk merayakan kesenduannya dengan fasilitas tangan-tangan yang tak kelihatan. Di dalam sana, ia melepas diri sejenak dari sekitar yang mungkin terlanjur membebaninya dengan harapan-harapan tinggi. 

Teknologisasi dan privatisasi kesenduan mungkin terdengar membosankan atau bahkan mengada-ada saja. Tapi, dalam perayaan privat kesenduan yang seperti itu, siapa yang boleh membantah ini adalah salah satu siasat manusia modern agar selalu terlihat bersemangat dan tak hancur dirundung pasang surut?

Tentu saja, kesenduan bukan satu-satunya yang dipancarkan gelombang radio dan mengikat banyak pendengar. Jelas ada musik gembira yang juga mengalami perlakukan yang sama. Lantas, puncak dari perayaan lagu yang seperti ini lebih terlihat antusiasmenya manakala kita menikmati konser di lapangan terbuka dengan rupa-rupa manusia. 

Yang jadi perhatian saya, mumpung mendung belum bersih, bertetangga secara sendu dalam fasilitasi radio bukan saja laku yang menghidupi kota-kota kecil. Ia telah menjadi pembeda dari putaran hari. Mungkin juga mewakili jejak masa yang sudah lama terbenam ketika kota-kota membengkak dan orang mesti lebih banyak membentengi privasinya. 

Kita mesti kangen sang Maestro, Lord Didi Kempot. Musiknya yang merayakan patah hati kini sepi dari hingar bingar sehari-hari. Tidak lagi ada di televisi, tidak lagi semarak di konser-konser. Kesenduan telah kehilangan juru bicara terdepannya. 

Jadi, untuk menghormati beliau, mari sejenak bersepi diri di Sewu Kuto.


Selain itu, di benak saya, memancarkan musik sendu seperti pengantar memulai hari yang tidak perlu disikapi dengan serius-serius amat. Mungkin ada kesan leyeh-leyeh tak kenal waktu di sana atau (yang rasanya serius) ketidaktepatan etis karena melawan displin moral tertentu. Moral publik yang mesti ditegakkan karena dunia manusia terikat dalam pembagian fungsi yang mesti dijaga keselarasannnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun