Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Freelancer - Nomad Digital

Udik!

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

"Der Goldene Handschuh", Profil Pembunuh Berantai dan Orang-orang Nelangsa

10 Oktober 2019   12:57 Diperbarui: 25 Oktober 2019   17:57 657
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Film The Golden Glove [2019] | Gordon Timpen - Warner Bros /EPA-EFE/ Shutterstock via time.com

Di hari Kesehatan Jiwa Sedunia atau World Mental Health Day  ini, mari kita tengok film tentang jiwa-jiwa yang sakit!

Der Goldene Handschuh atau The Golden Glove dirilis pertama kali 9 Februari 2019. 

Film besutan Fatih Akin ini bercerita riwayat seorang pembunuh berantai di Jerman yang hidup di permulaan 1970-an. Fatih mengadaptasinya dari novel berjudul sama yang ditulis oleh Heinz Strunk pada tahun 2016. Novel itu sendiri dikatakan meraih penghargaan pada Wilhelm Raabe Literature Prize di tahun yang sama juga. 

Fatih Akin yang berdarah Turki ini bukan sembarang sutradara. 

In the Fade (German: Aus dem Nichts) yang dibikinnya tahun 2017 sukses memenangkan kategori Golden Globe Award for Best Foreign Language Film, menyisihkan A Fantastic Woman yang justru memenangkan kategori yang sama di ajang Oscar ke-90. Selain itu, Diane Kruger juga meraih penghargaan Cannes Film Festival Award for Best Actress karena perannya sebagai Katja ekerci, istri yang kehilangan suami dan anaknya oleh serangan teroris di In the Fade.

Pada Der Goldene Handschuh yang juga tayang pada Berlin International Film Festival ke-69 ini, kita langsung dibawa pada potret sadisme psikotik khas pembunuh bayaran yang hidup dengan dua wajah sosial.  Tapi ini baru satu sisi dari film yang distribusinya turut disokong Warner Bros. 

"The Golden Globe" dibuka dengan adegan pada kamar yang sempit dengan dinding yang penuh dengan gambar perempuan bugil dari potongan kertas-kertas koran. Ada sesosok tubuh perempuan paruh baya setengah telengkup di sana. Tak berdaya. Kemudian datang seorang laki-laki yang lebih muda, terburu-buru dengan nafas yang ngos-ngosan membungkusnya. Tubuh itu lalu dimutilasi dan sebagian organnya dibuang dengan sebuah koper. 

Tubuh-tubuh terpotong itu tidak semuanya dibuang. Entah karena alasan apa, tubuh-tubuh itu malah di simpan di dalam kamar sempit yang sepanjang hari mengeluarkan busuk. Si pembunuh memilih hidup bersama tubuh korbannya.

Si pembunuh itu bernama Fritz Honka. Dia tinggal di loteng sebuah apartemen di kota Hamburg. Sedang "The Golden Glove" sendiri adalah nama sebuah bar dimana Honka sering menghabiskan malam dan bertemu korban-korbannya. 

Pun dunia dalam bar sejatinya adalah mikrokosmos dari kehidupan jelata yang melengkapi hidup irama hidup Honka yang berputar pada poros yang sama. Hidup yang jenuh. Karena itu, bar tersebut bisa dimengerti sebagai "katup pengaman" dari stres sosial.  

Orang-orang yang menghabiskan harinya di bar adalah mereka yang sudah tergolong sepuh, baik para lelaki maupun yang perempuan. Mereka tampak seperti kumpulan dengan sisa masa tua kesepian, terlempar dari hangat keluarga dan rumah yang tenang. Mungkin juga tipe orang-orang dengan masa lalu yang tidak pernah bisa didamaikan dengan diri sendiri. 

Ada veteran perang yang berusaha selalu tampil gagah. Ada ibu yang dibuang anaknya. Ada perempuan yang muak dengan kemunafikan orang-orang beragama. Mereka seperti kumpulan yang kalah tapi tetap ingin menikmati dunia. Orang-orang dengan masa tua yang nelangsa.

Mereka juga adalah daftar dari para pemabuk dan pemburu kesenangan tubuh. 

Para perempuan yang nongkrong di sini adalah kumpulan kecil PSK yang sepuh. Para perempuan itu, 4 di antaranya, adalah korban dari Honke. 

Mula-mula, mereka adalah teman kencan singkat Honke. Salah satu korbannya yang lolos, seorang ibu yang diacuhkan anaknya, bahkan berusaha mengambil hati Honke dengan membersihkan kamar sempit itu dan memasak. Honke bahkan ingin menikahi anaknya. Tapi gagal. 

Fritz Honka yang ringkih namun menyembunyikan sadisme ini bukan tidak memiliki keingin bertaubat. 

Ia pernah mencoba berhenti menenggak alkohol sesudah kecelakaan mobil. Ia melamar kerja di kantor yang baru. Ia ingin memulai hidup baru. Tapi, perjumpaannya dengan perempuan yang menjadi petugas kebersihan di kantornya yang baru membuat cintanya menyala. Cinta yang kemudian ditolak.

Honke kembali menjadi alkoholik dan pemangsa perempuan (paruh baya). Hidupnya kembali berpusat di "Golden Glove".

Artinya, kita terus mendapatkan penegasan jika pembunuh berantai ini Honke memiliki rasa sakit dengan asmaranya. Ia memang tidak dilukiskan berkali-kali mengalami patah hati atau penolakan dari lawan jenis yang seumuran. Namun obsesinya terhadap kesenangan tubuh tergambar begitu liar.

Dalam versi film, Honka tampil dalam wajah yang kurang simetris. Hidung besar dan bengkok, seperti pernah patah atau salah dioperasi. Badannya yang kurus membungkuk seperti udang. Matanya terlihat agak juling, giginya kuning karena keseringan terpapar asap rokok dan alkohol. 

Honka memiliki rutinitas sebagai pekerja rendahan yang tertib. Setidak-tidaknya, dia tidak dilukiskan memiliki masalah dengan sumber penghasilan. 

Karena itu dia bukanlah tipe pengangguran atau korban dari masyarakat industrial tahun 1970-an yang mengalami anomi individual, depresi dan serba ingin meledak. Tegas kata, Fritz Honka bukan jelata yang kalah dan mendendam kepada masyarakatnya karena krisis ekonomi atau politik yang meminggirkan.

Walau begitu, kita tahu jiwa dengan sadisme yang akut selalu mengekspresikan kemarahan dan benci yang meledak-ledak dan bisa menghancurkan apa saja. Hampir semua korbannya--para perempuan sepuh yang menjadi penjaja kesenangan--dihabisi karena ketersinggungan. Entah karena menertawakan tubuhnya yang payah atau menolak memenuhi keinginan Honka.

Sadisme seperti itu bukan saja mencerminkan kondisi jiwa yang sakit. Saat bersamaan, dalam "konteks seksualitas", juga terasa sedang menegaskan dominasi (patriarki?)nya yang tak boleh ditantang.

Maksudnya, jiwanya yang sakit itu memiliki porosnya pada dunia sehari-hari yang membentuk hidup Honka.

Mungkin Honka adalah jiwa yang memahami "orang lain seperti neraka" karena menolak, atau setidaknya menertawakan, penampilannya yang buruk. Orang lain yang mengolok-olok dirinya, yang memicu sadisme tumbuh sebagai ekspresi dari kebencian yang tak berdaya. Sadisme yang bercampur dengan obsesinya pada kesenangan tubuh. 

Honka adalah "potret negatif dari eksistensialisme" filsafat Sartre? 

Saya tidak tahu. Yang jelas, Fatih Akin tidak cukup baik memberi tilikan psikologi yang menjelaskan jejak-jejak krisis dan rasa sakit itu dalam tubuh Honka. Profil biografisnya, misalnya dengan pelukisan masa kecil atau momen-momen traumatik dari riwayat hidup subyek pembunuh berantai di tahun 1970an ini tidak cukup tergarap sehingga yang terlihat hanyalah sadisme yang mengerikan. 

Maka wajar jika ada kritikus yang menyebut film ini sangat lemah dalam substansi dan kedalaman eksplotrasi psikologis. Film ini "hanya menjual brutalisme".

So, janganlah ditonton kalau Anda rentan dengan kengerian.

*** 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun