Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Freelancer - Nomad Digital

Udik!

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

Narasi "Gundala", Problem Representasi dan Politik Progresif

9 September 2019   20:10 Diperbarui: 10 September 2019   14:29 3499
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Poster Film Gundala (2019) | The Jakarta Post

Demikian juga dengan Pengkor. Kekayaan milik orangtuanya bekerja seperti kutukan saja. Ia harus kehilangan kasih sayang keluarga karena ayahnya difitnah dan terbunuh bersama ibunya dalam amuk massa pekebun karet. Pengkor tumbuh dengan dendam terhadap dunia yang menistakan anak-anak yatim. 

Saya kira, dengan pelukisan asal-usul Gundala dan Pengkor, penonton dibawa untuk melihat jejak-jejak kebaikan atau kejahatan yang berakar dari masa anak-anak yang terlanjur menanggung nasib yang tak cukup kasih sayang keluarga. 

Ini juga semacam peringatan kepada orang-orang dewasa untuk selalu bekerja keras menghadirkan dunia yang lebih baik. Dunia yang lebih memekarkan kemanusiaan anak-anak sejak dini. Dunia yang penuh kasih sayang dan cinta pada sesama.

Tapi, meninggalkan dunia anak-anak Sancaka dan Pengkor yang getir, bagian besar yang menarik bagi saya adalah bagaimana melihat posisi Gundala dalam apa yang disebut dalam politik progresif sebagai "problem representasi" dari kekuasaan. 

Atau, mungkin yang disebut dengan, krisis atau setidaknya disfungsi dari sistem parlementarisme. Parlementarisme yang mudah dikendalikan oleh kuasa oligarki. 


Gundala, Problem Representasi dan Politik Perlawanan 
Gundala atau Sancaka dibentuk oleh akar psiko-sosial yang kelam dan tragis. Sekurang-kurangnya ada dua hal yang menjelaskannya.

Yang pertama, tentulah, karakter kelas pekerja yang aktif dalam perjuangan menegakkan hak-haknya. Bukan jenis kelas pekerja yang berada di barisan belakang apalagi golongan yang memilih jalur aman. Ayahnya bahkan harus menjadi tumbal dari perlawanan ini. 

Yang kedua, kehidupan anak jalanan yang harus dipilih sesudah kemiskinan memaksa ibunya harus pergi jauh dari rumah. Jalanan dan keseharian yang keras menempa Sancaka kecil terlatih dengan kondisi-kondisi ekstrem, termasuk kerja keras, kelaparan dan kekerasan. 

Karena itu juga, ketika film Gundala dimulai dari aksi demonstrasi buruh, gairah emansipasi yang terbayang pada sosok ini adalah kehadirannya yang  mewakili suara kelas bawah. Jelata sengsara yang bertahan hidup dalam sistem yang dehumanistik.

Maksud saya, raison d'etre Gundala atau motif struktural dari ke-superhero-an dirinya lebih realistis ketimbang Batman, misalnya. Batman, yang merupakan pewaris tunggal kekayaan dinasti Wayne, adalah ekspresi yang "idealistik kalau bukan utopik".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun