Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Freelancer - Nomad Digital

Udik!

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Politik Pascapilpres dan "Cerita tentang Zaman yang Tak Tercatat"

16 Juli 2019   10:30 Diperbarui: 23 Juli 2019   07:33 695
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jalan Tanah | Dok.Pribadi

Akhirnya, saya berdiri di sini. Serasa terperangkap ke zaman yang tidak tercatat.

Lantas menyaksikan pagi yang berderu oleh suara truk besar. Jalanan yang berlubang dipenuhi debu. Sedang anak-anak pergi ke sekolah dengan mengendarai motor atau membonceng. Di jalan lintas propinsi yang menghubungkan dua lokus pertumbuhan ekonomi di bumi Sumatera. 

Saya mengenangkan perjalanan dua dasawarsa. Saya teringat pada sebuat pusat, sebuah kontrol. Saya terbayang cerita tentang kekuasaan yang mendisiplinkan. Sebuah wajah terus muncul. Wajah seorang kakak, pemuda terpelajar dari Tanah Papua. 

"Orang-orang baik selalu disediakan sejarah. Tapi mereka tidak selalu berhasil di dalam sistem yang memelihara dirinya dari persekutuan keburukan."

Kata-kata ini bukan miliknya.

Dia hanya berbicara jejaring orang, kemudian perseteruan politik dan mengenang masa-masa yang terlibat menentang. Dia membagikan kemarahannya pada institusi pengatur bernama negara yang memelihara ikatan-ikatan kewargaan dengan pendisiplinan sosial dan kekerasan yang eksesif.

Politik kehilangan kemanusiaan. Politik terlalu sibuk pada kontrol teritorial dan pemaksimalan keuntungan dari eksploitasi sumberdaya. Sejenis cara yang hanya memelihara bom waktu dimana-mana, katanya lagi. Sebuah cara, yang belakangan di beberapa literatur disebutkan sebagai: Silent Genocide. 

Saya jelas tidak mengerti apa yang membuatnya tampak dingin. Saat itu sore hari. Pikiran saya terlalu sibuk dengan tidak menjadi pengganti di lapangan bola dan pagar sekolah yang belum bisa saya panjati. Juga seorang remaja perempuan yang selalu memasang wajah jutek namun diam-diam mencemaskan saya ketika dipanggil ke ruang konseling.

Sayang, pagi yang bergerak oleh kendaraan berat dan anak-anak sekolah yang melintasi debu itu bukan tentang mengapa di balik wajah yang terlatih jutek, tersimpan perhatian perempuan yang terlatih menyamarkan gerak-gerik. Uwuwuwu!

Kini, saya bersaksi dari suatu pinggiran yang lain. Sesudah tahun-tahun yang ringkas di tepian sungai Katingan, Kalimantan Tengah. Yang mungkin akan berubah menjadi sebuah pusat baru. Pusat baru yang mewakili kecenderungan "polisentris" dari kekuasaan politik di era globalisme.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun