Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Freelancer - Nomad Digital

Udik!

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Rekonsiliasi Pertemuan MRT, Mengikuti Siapa?

15 Juli 2019   10:59 Diperbarui: 25 Oktober 2019   14:37 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pertemuan Jokowi dan Prabowo | Kompasiana.com

Kedua, dalam narasi kekalahan itu,  modernisasi bukan saja menciptakan subyek yang menulis sejarah sendiri; subyek yang menjadi "Deus". Namun juga melahirkan krisis-krisis yang beragam. 

Mulai dari dekomposisi lingkungan hingga destruksi sosial, dari kehampaan cara hidup sampai kekacauan cara pandang. Hidup dengan degradasi moral seperti sedang berada di titik paling mengerikan. 

Singkat kata, institusi sekuler telah gagal, kalau bukan telah mendorong kehidupan makin terkutuk di hadapan tuntunan wahyu. 

Kita terus melihat mengapa tema Post-Sekularisme menjadi diskusi yang penting. Post-Sekularisme bukan lagi sebuah fase dari periodisasi sejarah masyarakat manusia yang kini digerakan oleh perkembangan sains digitalisme. 

Post-Sekularisme adalah agenda peradaban untuk mensinergikan tuntutan agama dengan konsekuensi-konsekuensi dari sekulerisasi. 

Akan tetapi, kita juga tahu "kekalahan agama" di depan sekularisme tidak dalam kontra-posisi yang hitam putih semata-mata. 

Di dalam gerak pelipatan dunia oleh teknologisasi (informasi, transportasi, digitalisasi, dll, dkk), kesenjangan ekonomi, perasaan kalah sebagai pribumi, atau pembangunan yang belum "semua untuk semua", tumbuh juga alasan-alasan yang membuat populisme berbasis identitas bisa tumbuh dan mengikat orang banyak. Menciptakan harapan dan mendorong kehendak untuk memenangkan perebutan alat-alat kekuasaan. 

Singkat kata, negara (bangsa) harus direbut! 

Negara harus kembali menjadi alat bagi kepentingan orang banyak, walau kita tahu, dalam janji politik elite, itu semacam suara para demonstran yang baru lulus kursus memimpin Aksi Massa. Semua tampak membara, penuh nuansa kerakyatan, pahadal....

Negara sebagai institusi tertinggi yang mengelola sumberdaya politik bersama harus hadir untuk menghentikan ekspor kehampaan oleh globalisasi.

Maksud pertama saya, dari kondisi yang demikian, pertemuan kehendak antara "kembalinya yang suci" dan "glorifikasi politik identitas" terus menemukan momentumnya. Seperti dituntun untuk mengalami perkawinan silang. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun