Ini mungkin maksud pertama tak terkatakan dari kenapa kudapan ini dibuat terbatas an tidak setiap hari. Atau dengan bahasa ekonomi, dibuat tidak untuk membentuk konsumen yang lebih luas. Sebabnya agar ia dinanti-nanti dan diburu.Â
Selain itu, dengan pilihan menjadi terbatas dan tidak setiap hari atau tidak untuk menyerap konsumen dalam jumlah besar, Sagu Gula Merah di tangan Mama saya terus terlihat sebagai kudapan yang dirawat dengan prinsip limited edition.Â
Maksud saya, di tangannya, makanan yang tidak kaya akan unsur atau rempah-rempah ini, dikerjakan dengan fokus yang tinggi. Setiap prosesnya, dimulai dari pemilihan bahan, penyiapan adonan, pembakaran hingga penyajian dikelola dengan konsentrasi yang penuh. Seolah saja, seluruh pengalaman memasaknya terlibat dalam menciptakan Sagu Gula Merah.Â
Apa yang secara unsur tampak minimalis kini tak lagi minimalis. Perpaduan ketiganya sukses menjadi kudapan yang memelihara kerinduan akan mutu cita rasa dan karenanya menciptakan konsumen yang loyal- saya misalnya.
Sayang sekali, ketika kami bertemu sesudah 21 tahun yang memisahkan, saya tidak lagi memintanya membuat kudapan ini. Mama sudah terlihat lebih tua dan hanya ingin membagikan nostalgianya saja. Saya juga lebih ingin mendengar masa lalu tumbuh dan sejak saat itu hingga hari ini, saya tidak lagi menikmati Sagu Gula Merah.Â
Seperti ada yang hanya tertunda. Tidak hilang, hanya memanggil pulang. Tidak ada yang memisahkan kita, kuliner dan bagaimana hidup dijalani sebagai manusia Indonesia di tengah gempuran impor selera dan globalisasi cepat saji.Â
Demikian juga saya dan Papua. Â
 ***