Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Freelancer - Nomad Digital

Udik!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jejak Gus Dur dalam "Perjumpaan Semalam" di Ciganjur

7 Desember 2018   08:51 Diperbarui: 7 Desember 2018   10:55 1003
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gus Dur | Sumber: Getty Images

Tulisan ini hanya ingin mengenangkan kembali. Di dalamnya termuat keharusan membaca kembali sesosok Gus Dur. Membaca-ulang Gus Dur dari sudut pandang atau tafsir dua tokoh yang begitu dekat dengannya. Membaca sisi yang mungkin emosional atau justru spiritual.

Saya teringat tahun 1999, di perpustakaan masjid kampus yang jauh dari Jakarta. Tahun sesudah Soeharto turun.

Kami yang saat itu berkepala botak menyimak siaran televisi. Menyaksikan bagaimana penghitungan suara pemilihan presiden. Gus Dur unggul. Kami berpelukan erat, senang, tak mengerti politik. Kami baru masuk kuliah.

Sesudah itu, saya teringat jika buku pertama yang saya beli di tahun awal kuliah adalah Tuhan Tidak Perlu Dibela, terbitan LKiS. Saya pun membeli buku Prisma Pemikiran Gus Dur yang diterbitkan penerbit buku Kompas.

Semua itu di tahun 1999, tahun permulaan Gus Dur menjadi presiden. Saya membaca pelan-pelan buku itu-dan kini mereka telah raib karena kebodohan sendiri: percaya bahwa orang yang meminjam akan mengembalikan-bersama pengertian yang compang-camping.

Kosa kata masih terbatas, sistem pengertian masih sederhana-bahkan sampai sekarang!

Saya memang menaruh hormat yang tinggi kepada Gus Dur.

Bukan saja sebagai seorang tunanetra pertama di Indonesia-negeri yang konon mengadopsi prinsip semua warga negara setara dihadapan hukum-yang bisa jadi presiden. Ia mengangkat harga diri kaum difable di negeri ini.

Belakangan, sesudah ketemu beberapa senior yang hidup dalam kaderisasi Gus Dur, saya jadi makin paham jika beliau adalah sang "Central Planner". Yang memungkinkan perjumpaan Islam Indonesia dengan modernitas Barat berdialog secara damai tanpa kehilangan sikap kritis. Sementara di lokus peradaban lain, perjumpaan Islam dan Modernitas (Barat) adalah akar dari ketegangan, krisis dan perlawanan hingga sekarang ini.

Gus Dur juga adalah sang Central Planner yang memberikan kondisi-kondisi yang memungkinkan (condition of possibilities) agar anak-anak muda NU khususnya bergaul dan percaya diri di hadapan kekayaan pemikiran dan gerakan yang datang dari luar pesantren.

Singkat kata, sejauh ini, dalam segala macam keterbatasan, saya merasa sedikit memahami Gus Dur. Pemahaman yang dibentuk oleh kesimpulan yang, katakanlah, lebih condong "intelektual".

Tapi Gus Dur bukanlah sosok yang bisa disimpulkan dalam satu judul, bukan?

Anda yang membaca sepakbola, ada Gus Dur di sana. Anda yang membaca kritik budaya, ada jejak permenungan beliau di sana. Ada membicarakan gerakan sosial? Gus Dur terlibat di garda depannya, yang menegakkan demokrasi dan hak-hak sipil. Apalagi membicarakan narasi sejarah Islam dan perbandingan politik serta pemikirannya atau semesta pemikiran mengenai pluralisme agama-agama.

Gus Dur mengada dimana-mana.

***

Pada 27 September 2012, saya pergi ke Ciganjur, ikut menghadiri peringatan 1000 hari wafatnya Gus Dur. Menggunakan kemeja lengan panjang hitam dan celana blue jeans, saya berangkat.

Begitu tiba di lokasi acara, tampak sudah banyak jamaah yang hadir. Dari anak-anak, ibu-ibu hingga lelaki separuh baya. Belum lagi para pemuda. Acara ini diselenggarakan di areal pesantren milik Gus Dur.

Tenda besar dengan penutup warna putih dipersiapkan untuk menampung ribuan orang. Dan memang malam itu ribuan orang hadir.Saya jadi harus duduk agak jauh dari panggung utama. Backdrop besar yang terpampang tertulis Tahlil Akbar 1000 hari Gus Dur, didominasi oleh warna hijau serta merah dan putih.

Panggung utama diduduki oleh para kiai dan juga orang-orang yang dekat dengan Gus Dur. Kebanyakan mereka adalah tokoh-tokoh di lingkungan internal Nahdlatul Ulama. Prof. DR. Quraish Shihab yang mengisi Tausiyah selain KH Musthofa Bisri atau Gus Mus juga duduk di situ. Habib Syech Assegaf, yang memimpin shalawatan juga di situ.

Sejauh yang disebutkan oleh Gus Mus, ada banyak petinggi negara yang hadir seperti Prof. Mahfud MD (Ketua Mahkamah Konstitusi) dan juga Muhammad Nuh (Mendiknas). Selain itu juga hadir Ir. Akbar Tandjung, politisi senior Golkar dan tokoh HMI yang sangat dihormati.

Ada intelektual yang meneliti NU atau Gus Dur yang menyemparkan hadir, seperti Profesor Mitsuo Nakamura dari Jepang. Mungkin ada yang lain seperti Prof. Mitsuo, saya tidak bisa memeriksa satu per satu. Terlalu jauh dan belum tentu tahu.

Di sebelah kirinya duduk keluarga besar Gus Dur.

Dari jauh terlihat ibu Sinta Nuriyah bersama anak dan cucu duduk. Di sebelah kanan juga duduk rombongan lelaki yang tidak saya kenali. Ada layar lebar yang dipasang untuk memudahkan jamaah yang duduknya jauh dari panggung tetap bisa menyimak rangkaian acara.  

Acara dimulai.

Dibuka dengan pembacaan kalam Ilahi dan sambutan ibu Shinta, Selanjutnya shalawatan lalu tausiyah dari KH. Quraish Shihab diselingi lagi oleh shalawatan dan tausiyah dari KH Mustofa Bisri. Kemudian sholawatan dan ditutup dengan makan bersama.

Seluruh rangkaian acara berlangsung lancar juga khidmat. Sesekali diselingi humor khas acara orang-orang NU.

[Membaca Kembali] Gus Dur

Siapakah Gus Dur itu?

Untuk kesekian kali, pertanyaan ini mungkin terasa membosankan tapi tidak demikian bagi banyak kesadaran yang mengacu kepada gagasan atau sikap moral Gus Dur. Lebih dari pada itu, pertanyaan seperti ini akan terus menggugah ingatan mereka yang berdiri di garis Gus Dur, untuk terus mendalami apa-apa yang mungkin terlewati atau belum cukup dimaknai.

Sebab itu juga, bertanya yang seperti ini sekaligus merupakan kesaksian yang daripadanya orang bisa mengambil pelajaran, inspirasi atau yang sejenisnya. Dengan begitu, sejauh Gus Dur hidup dalam praksis (baca: kesatuan refleksi dan tindak nyata), Gus Dur akan selalu hidup bersama kehadiran yang "berlipat ganda".

Dalam suasana menuju haul, saya hanya mau berbagi sedikit cerita dari isi tausiyah Gus Mus, salah satu Kiai yang sangat dekat dengan Gus Dur. Dan juga isi tausiyah dari Prof. Quraish Shihab yang merupakan sahabat Gus Dur. Tentu sejauh yang bisa saya rekam dalam ingatan di Ciganjur, 6 tahun yang sudah lewat sebuah catatan yang ditulis ulang di sini.

Anda boleh melihat kembali tausiyah Gus Mus secara lebih utuh di tayangan Youtube di bawah ini. Saya hanya menceritakan bagian yang relevan untuk kebutuhan tulisan.


Mari kita mulai dengan keprihatinan faktual yang seperti ini.

Ketika kita diperhadapkan dengan begitu banyak kasus-kasus kekerasan, diskriminasi, hingga benturann atas nama agama, banyak orang lantas teringat Gus Dur, lalu berujar pelan, seandainya masih ada manusia yang satu ini. Orang-orang kehilangan pejuangnya, akan selalu kehilangan, sebab kekerasan, diskriminasi, penghancuran kemanusiaan agaknya belum akan pergi dalam perjalanan negeri ini.

Gus Mus bilang jika Gus Dur bisa dicintai oleh banyak orang sebab ia mencintai orang banyak. Ia, karena cintanya itu saya kira, berani melawan arus: pasang badan menghadapi segala sesuatu yang mengancam keberadaan orang-orang, terutama mereka yang lemah, minoritas, dan yang mengalami ketidakadilan. Sendiri atau ramai, ia akan menghadang segala macam perbuatan yang mengancam kemanusiaan tanpa pandang bulu.

Cintanya kepada kemanusiaan tanpa tawar menawar. Perjuangannya bagi kemanusiaan bersama tak pernah gentar. Ini poin pertama yang saya beri tinta tebal dalam ingatan.

Hal kedua, Gus Mus berbicara sebuah perbandingan. Bagaimana perbedaan zaman melahirkan generasi pendakwah. Lebih persisnya kritik terhadap kekinian yang berkaitan dengan "instanisme".

Gus Mus menyentil maraknya trend, sebut saja, "Mendadak ustaz". Katanya sekarang, banyak ustaz yang terlanjur terkenal sebab itu ngajinya tidak diteruskan. Popularitas begitu mudah mengambil mereka yang ngajinya baru sampai pada membaca terjemahan.

Beda dengan Gus Dur, atau kebanyakan mereka yang telah mencapai maqam Kiai di NU, ngajinya kemana-mana, berguru pada banyak guru, dengan disiplin keilmuan yang bertingkat-tingkat dan memakan waktu yang lama.

Tapi kok masyarakat Indonesia sepertinya terus butuh dengan kehadiran segala yang serba instan? Kini bukan hanya makanan, kesadaran pun membutuhkan menjadi serba instan.

Dari sini, dari "kebutuhan pada yang serba instan terhadap hidup yang tidak melulu hitam putih atau sendu-sendu selalu", kita akan melihat dimensi yang ruhaniah dari cara Gus Dur yang jauh dari peliputan dan sorot kamera.

Mengulang bahasa Gus Mus, yang disampaikan sembari berkelakar, "Orang Indonesia masih senang dunia, jangan disuruh bersikap hidup sederhana dan mengendalikan hasrat duniawinya dengan menempuh prosedur laku spiritual atau zuhud."

"Makanya kalau mencintai Gus Dur dan mau menirunya, carilah contoh yang mudah seperti pejuang pluralisme, kemanusiaan, dan sejenisnya. Jangan tiru cara hidup zuhud Gus Dur, niscaya Anda tak akan mampu."

Ketika banyak orang hari ini hidup dengan dompet kulit tebal, memiliki bermacam kartu atm atau kartu kredit, sampai wafatnya, Gus Dur bahkan tidak memiliki dompet.

Jikalau membaca riwayat hidup Gus Dur, kita akan temukan masa-masa dimana beliau hidup berkekurangan. Beliau juga membantu isterinya mencuci pakaian dan mengepel lantai, sambal berjualan es lilin ketika masih mengajar di Jombang, sebelum menjadi pengurus PBNU.

Selain itu, banyak beredar cerita di kalangan NU yang menuturkan jika Gus Dur menerima duit dan pada saat yang bersamaan ada yang memintanya, pada saat itu juga duit yang baru diterima langsung diberikan. Ketika ditanya kenapa begitu Gus?

Gus Dur akan menjawab enteng, "Itulah makna berterima kasih. Sesudah terima, dikasih lagi. Hehehe."

Dari tausiyah Prof. Quraish Shihab, yang saya garisbawahi adalah bahwa Gus Dur merupakan jenis manusia yang berfikir melampaui zamannya. Ketika sudah tak ada, zaman berubah, orang baru akan sadar.

Prof. Quraish Shihab juga bilang Gus Dur jenis manusia genius, yakni jenis manusia yang mampu mengelola kontradiksi alias pertentangan. Kontradiksi inilah yang acapkali menuai kontroversi. Karena itu, menurut beliau, butuh kecermatan dan kedalaman untuk memahaminya, bukan sekedar kecaman membabi buta.

Saya memang tidak merekam semua isi tausiyah dua tokoh ini. Itu berarti ada yang jelas luput yang mungkin justru penting dalam suasana kekinian. Saya hanya ingin bernostalgia jika perjumpaan semalam di Ciganjur itu (selalu) mengingatkan pada tantangan akan kerja peradaban yang panjang.  

***

Setiap mereka yang mencintai Gus Dur punya kesaksian rasa yang berbeda-beda. Dan Gus Dur tetaplah manusia sejarah.

Ia mengalami awal dan menjumpai akhir. Pernah mencapai level politik tertinggi juga dijatuhkan dengan siasat politik tingkat tinggi pula. Ia dicintai juga memiliki para pembenci. Dan Gus Dur tidak pernah menggunakan kekerasan untuk menghadapi para pembencinya itu.

Gus Dur telah lama pulang, dan ibu Shinta benar, 1000 hari Gus Dur bukanlah hari terakhir orang-orang mengadakan peringatan buatnya. Gus Dur akan selalu hidup, entah karena humor atau pemikirannya, entah karena keberanian atau kontroversinya.

"Jika Anda mencintai Gus Dur, cintai Indonesia!" Pesan Gus Mus di akhir tausiyahnya.

Gus Dur bukan kultus. Gus Dur adalah karya kesekian dari kerja panjang yang masih harus dilanjutkan.  

[Pertamakali ditulis 28 September 2012 pukul 13:54]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun