Serempak, semua tertawa. Saya tiba-tiba merasa ganjil sendiri. Perpindahan kata "ada bule" kepada "ada kampung" membawa saya tiba pada perasaan asing. Seolah saja, tidak pernah mengalami hidup sehari-hari di Telaga atau di desa yang terhampar sepanjang sungai Katingan. Padahal saya memiliki tahun-tahun yang berpindah di antara hulu dan hilir sungai.
Saya merasa dicabut dari pengertian atau bahkan dunia makna yang selama ini terhidupi. Ketika saya berada di atas kapal!
Dari kapal dengan layanan yang berkelas internasional--ingatlah jika Wow Borneo melayani wisatawan asing--saya melihat sebuah desa yang sederhana, dengan irama yang lambat, dengan orang-orang yang bergantung pada pemberian sungai dan hutan. Saya melihat rumah-rumah yang mengapung dengan perahu yang hilir mudik dan perempuan-perempuan yang sedang mencuci.Â
Apa yang dipikirkan Robinson Crusoe atau Jan Piterzsoon Coen dari posisi seperti ini? Sekurang-kurangnya, Jack Sparrow? Ya, mana kutahu. Ingin saya membayangkan diri sebagai tuan-tuan kolonial dari Negeri di Atas Angin itu, tetapii..
Yang muncul di kepala saya, mendesak-desak di ruang batin adalah sederet pertanyaan.Â
Bagaimana mula-mula perempuan dan laki-laki mengalami pembagian kerja yang terintegrasi pada perikanan tangkap yang dalam kekiniannya perempuan terlatih membuat ikan kering (asin) dan laki-laki terlatih memasang perangkapnya? Atau, bagaimana peran seperti itu dipelihara bertahun-tahun dan masih terwariskan dalam laku dua pasangan yang lebih muda? Terlebih ketika kota menggurita dan industri perkebunan tumbuh di pinggir halaman depan rumah mereka.
Dari sumber produksi tradisional yang seperti ini, pengharapan futuristik apa yang mereka imajinasikan? Saya terus menemukan diri seperti Friedrich Engels manakala menulis The Origin of the Family, Private Property and the State (1884). Waduh.
Dan ketika anak-anak dalam rombongan yang sedang bermain di jalan semen itu mendadak gaduh dan melambai-lambaikan tangan ke kami, saya balas melambai dan teriak, "Woooiii." Mereka tertawa. Saya yang ngeri.Â
Mendadak turis dalam situasi seperti ini -dipindahkan dari pengalaman lokal sehari-hari ke dalam posisi penikmat layanan wisata-malah membuat saya jungkir balik mencurigai diri sendiri. Kamu itu ngapain aja di sini? Huhuhu.
Kelas belajar dalam praktik simulai layanan wisata ini bukan saja mengasup pengetahuan baru kepada kepala. Namun yang lebih "dramatik" adalah mengguncang semesta kesadaran yang dalam beberapa hal, seperti nyaman-nyaman saja tentang manusia Dayak, sungai dan hutannya. Padahal, sejatinya, dangkal dan menggelikan.
Kerja baru dimulai, matahari memang masih di temaram. Cuma itu yang membatin..
(Telaga, Katingan. Awal September 2018)
***