Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Freelancer - Nomad Digital

Udik!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

[LOMBAPK] Toleransi, Catatan dari Meja Makan

15 Januari 2017   20:28 Diperbarui: 15 Januari 2017   23:57 785
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Santri Gus Dur

Saya terus kepikiran, makin kepikiran gegara lomba aneh Planet Kenthir ini (ya iya, aneh. Orang-orang Kenthir itu kan sudah melampaui yang sosial dan logis, kok masih mau turun kasta kayak begini). Iya juga, laku toleran dimulai dari perkara yang kecil-kecil dan harian semisal dari meja makan.

Apa sih yang bikin saya menjadi mengenaskan di meja makan seperti itu?

PRASANGKA! Ini pangkal yang bikin terlihat dungu dan menyedihkan. Mestinya saya saat itu menimbang dulu kekhawatiran senior (pakai otak dulu). Mestinya saya yakin kalau Om Sumartana sudah memikirkan hal-hal kecil yang sensitif namun penting dalam menunjukan laku toleran. Gak mungkinlah sosok yang mempromosikan Theologia Religionum di Indonesia terus abai dengan halal dan haram kuliner.

PRASANGKA jelas musuh besar dalam bertoleransi, bentuk paling buruknya adalah paranoid: serba merasa terancam. PRASANGKA tumbuh dimana saja, mau dalam kelompok dominan atau kelompok-kelompok kecil, tidak ambil pusing. Ia tumbuh bersama ketidakberanian berdialog. Tidak berani berdialog adalah perlambang ketidakmampuan mengelola yang sosial dan yang logis, jelas sudah adanya. 

Barangkali juga kita sudah terlalu disedot pikirannya untuk "serba (sok) sosial dengan gambar besar" yang diproduksi media. Merasa terenyuh dan cemas ketika ada gereja yang dilarang pembangunannya atau masjid yang sama dilarang. Sementara pada hal-hal kecil dan harian, di kompleks tinggal kita, masih merawat diam-diam prasangka, masih bisik cemas tak jelas, masih sembunyi-sembunyi pasang pengaman (haa?). Intinya menjadi reaksioner manakala membicarakan bagaimana itu bertoleransi.  

Yang saya maksud dengan toleransi reaksioner adalah mendadak berseru keras dan terbaca gagap atau latah-latahan. Dalam beberapa kasus, misalnya di social media, justru dengan mengolok-olok berlebih kelompok yang menampilkan wajah dan ekspresi intoleran. Akibatnya bukannya melahirkan kesejukan malah tambah panas dan gaduh. Lah terus apa bedanyaaa? Ini yang juga saya maksud dengan terlalu sosial dan gak logis!

Tapi rasa-rasanya, lebih dari toleransi-reaksioner yang tertidur di musim teduh dan gaduh di musim tegang-tegangan, yang sungguh berbahaya justru yang pura-pura toleran (pseudo-tolerance). Pura-pura toleran karena bagian dari kelompok kecil, gantian sudah gede kelompoknya, paling di depan hakimi keyakinan orang lain.

Menuju penutup, atas nama jurusan kuliah dan uang kiriman emak dan bapak, saya kira toleransi adalah laku harian, ia dibentuk oleh sikap sosial dan kesadaran yang logis melalui perjumpaan sehari-hari. Bukan semata-mata karena Kong Ragile dan Prof Pebrianov berbeda dalam isi celana, misalnya. Atau karena Om Nanang berbulu tebal di atas bibir di bawah hidung sedangkan Herry Gorila di sekujur tubuh. Tapi ini semua adalah ketetapan penciptaan, Sunatullah, yang oleh pendiri negeri sudah disadari benar kemudian dikelola energinya menjadi kekuatan besar dalam membangun konsensus nasional dan mendorong aksi ke arah pemerdekaan manusia dari penindasan sesama manusia!

Tidakkah manusia diciptakan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa untuk saling belajar perbedaan dan berlomba-lomba dalam kebaikan. Selebihnya, urusan Sang Maha Pencipta bukan?

Sip. 

*** 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun