Mohon tunggu...
I Putu Hendra Budi
I Putu Hendra Budi Mohon Tunggu... Guru - Guru IPA di SMPN 2 Petasia Barat Satap

Saya hobi belajar sesuatu yang baru, menulis, membaca, musik, dan touring.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kurikulum Merdeka, Solusi atau Gimik?

17 Agustus 2022   11:39 Diperbarui: 17 Agustus 2022   11:41 539
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Belakangan ini sedang marak digerakkan kegiatan sosialisasi kurikulum merdeka. Implementasi Kurikulum Merdeka diklaim merupakan solusi dan perbaikan dari kurikulum yang sudah ada sebelumnya. Pada kurikulum ini, guru diberikan kebebasan untuk memilih perangkat ajar sehingga pembelajaran di kelas dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan minat murid. Benarkah semuanya merdeka?

Sejatinya setiap murid di dalam kelas merupakan kumpulan insan yang memiliki keunikan dan kelebihannya masing-masing. Tentu dengan kekurangannya pula yang terbungkus dalam satu paket. Keunikan-keunikan ini terkadang menjadi masalah tersendiri bagi guru.

Sebagai contoh, setiap guru mata pelajaran akan merasa gagal dalam mengajar jika banyak muridnya yang tidak lulus ulangan harian. Kemudian muncul ungkapan bahwa guru tersebut tidak kompeten dan murid-muridnya bodoh.

Padahal tidak semua murid menyukai mata pelajaran tertentu. Hal ini dilatarbelakangi oleh minat dan ketertarikan mereka yang berbeda-beda. Sederhananya murid yang cenderung menggunakan otak kanan akan lebih menyukai pelajaran seni dan prakarya dibandingkan matematika. Sebaliknya, murid yang cenderung otak kiri akan merasa jago di mata pelajaran matematika.

Pada akhirnya akan terbentuk stereotip antara murid-murid pintar dan yang bodoh. Mereka yang kesulitas dalam mata pelajaran analisis akan merasa dirinya bodoh dan tidak percaya diri. Padahal sebenarnya mereka-mereka ini punya jiwa kreatifitas yang tinggi. Lalu kemudian timbul rasa malas untuk berangkat ke sekolah dan parahnya lagi sampai berhenti sekolah.

Tahun 2014 publik Indonesia sempat dihebohkan dengan pengangkatan Ibu Susi Pudjiastuti sebagai Menteri Perikanan dan Kelautan dalam kabinet kerja Presiden Joko Widodo.  Penyebabnya adalah latar belakang Bu Susi yang hanya tamatan SMP. Kemudian muncul lagi ungkapan bahwa sekolah tidak menjamin kesuksesan. Terakhir, ada Roy si artis SCBD yang dikabarkan menolak beasiswa sekolah dari Pak Sandiaga Uno.

Ramai orang-orang berbicara untuk menjadi sukses tidak perlu sekolah. Bahkan mungkin saja ada yang sampai terinspirasi lalu memutuskan berhenti bersekolah. Nama-nama tokoh lainnya ikut dibawa-bawa seperti Bill Gates, Steve Jobs, dan Mark Zuckerber.  Tentu saja viralnya ungkapan itu menjadi tamparan keras bagi para guru maupun pihak sekolah.

Para guru dan sekolah terkesan seperti tidak penting bagi mereka. Padahal jika kita pikirkan lebih jauh, orang-orang sukses yang disebutkan di atas bisa saja jauh lebih sukses lagi jika mereka menyelesaikan pendidikannya dengan baik.

Akar masalah yang sebenarnya terletak di dalam kelas. Menurut Ki Hajar Dewantara Pendidikan haruslah menyenangkan dan belajar adalah proses kegembiraan.

Jika kita ibaratkan belajar seperti berada di taman bermain, maka anak-anak pasti betah berada di sana. Lalu Ketika waktu bermain selesai dan mereka harus pulang pasti ada perasaan sedih di hatinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun