Mohon tunggu...
Turangga Wulung
Turangga Wulung Mohon Tunggu... -

Pengamat sosial, politik dan agama.

Selanjutnya

Tutup

Politik

"Rebranding" Golkar dan Sosok Airlangga Hartarto

18 Desember 2017   22:46 Diperbarui: 18 Desember 2017   23:02 1431
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Airlangga Hartarto. Pepnews.com

Golkar jadi sorotan publik ketika Ketua Umumnya, Setya Novanto berhenti dan digantikan Airlangga Hartarto. Di saat bersamaan, slogan Golkar lama "Suara Golkar, Suara Rakyat " diganti dengan slogan baru, "Golkar Bersih, Bersatu dan Bangkit". Hal ini, menurut Ketua Dewan Pakar DPP  Partai GolkarAgung Laksono merupakan upaya Partai beringin untuk meningkatkan elektabilitas dan menyukseskan agenda politik Nasional, yaitu Pilkada serentak tahun 2018 dan Pilpres 2019.

Ada apa di balik penggantian slogan ini, dan apa korelasinya dengan Airlangga sang Ketua Umum baru? Selain itu, pertanyaan yang lebih penting lagi adalah, seberapa signifikan dan berhasilkah perubahan slogan tadi dikaitkan dengan pemilihan Airlangga Hartarto sebagai Ketua Umum dalam mengembalikan elektabilitas Golkar ke depannya?

Dari perspektif marketing, Golkar adalah sebuah brand yang matang. Dengan usia panjang, pengalaman berpolitik matang, serta basis dukungan massa yang luas menjadikannya partai utama yang amat sangat diperhitungkan di Indonesia. Namun, beberapa tahun belakangan, partai bentukan Orde Baru ini nampak limbung menghadapi persoalan internal partai, mulai dari konflik dualisme kepemimpinan era Aburizal Bakrie dan Agung Laksono, hingga hantaman telak belakangan lewat kasus megakorupsi yang menjerat mantan Ketua Umumnya, Setya Novanto. 

Karenanya wajar jika, secara sadar, para petinggi Golkar melihat perlunya dilakukan rebranding. Dilakukan repositioning citra partai beringin. Dan lebih-lebih lagi, kondisi Golkar yang terhempas isu korupsi Setnov sebagai pucuk pimpinannya musti ditanggulangi, yaitu dengan menerapkan strategi crisis management. Secara logis, penanganan krisis Golkar ini dilakukan dengan secara tegas membuat jarak antara Setnov dengan Golkar sebagai institusi. Melokalisir isu korupsi eKTP sebagai masalah sang mantan Ketua Umum, sementara Golkar dan kader-kader lainnya tak terimbas. Ibarat korbankan satu prajurit untuk selamatkan satu peleton.

Nah, setelah membuat jarak dengan Setnov, langkah logis Golkar berikutnya adalah mengusung sosok baru sebagai Ketua Umum. Tentunya, yang ideal adalah sosoknya merupakan antitesis dari yang digantikan. Tak hanya secara figur, namun juga secara citra dan lebih bagus lagi kalau bisa secara prestasi. Dan, entah bagaimana prosesnya di internal Partai Golkar, muncullah nama Airlangga Hartarto.

Secara sosok Airlangga bukanlah antitesis Setya Novanto. Background politik serta keluarga--ayahnya adalah mantan Menteri--menjadikan Airlangga bukan kader sembarangan. Justru jika Setnov dikenal sebagai politikus brilian dalam karir politiknya, di mana dia memulai benar-benar dari bawah, hingga akhirnya jadi pimpinan partai, Airlangga bisa dibilang anak emas karena mempunyai darah biru dan kapital sosial yang mengantarkannya ke pucuk kekuasaan.

Kedua, ada kesamaan antara Airlangga dan Setnov, di sisi basis dukungan massa riil di lapangan. Keduanya sama-sama tidak punya basis massa kuat. Keduanya bukan tokoh populis, layaknya pimpinan Golkar sebelumnya, seperti Jusuf Kalla, Aburizal Bakrie apalagi Harmoko. Padahal, dalam politik Indonesia, seberapa kuat basis massa pendukung tokoh puncak partai amat menentukan tingkat elektabilitas di lapangan saat pemilihan umum.

Airlangga untungnya mempunyai brand yang positif terkait kinerja profesionalitasnya. Hal ini terlihat dari kiprahnya hingga saat ini sebagai Menteri Perindustrian di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo. Namun, citra positifnya ini tak banyak berpengaruh terhadap perbaikan citra Partai Golkar itu sendiri, karena performa positifnya sebagai Menteri Perindustrian tidak ada korelasi langsung dengan latar belakangan kepartaian Airlangga sendiri.

Bisa dibilang, sosok Airlangga sebagai personal brand Ketua Umum tidak akan mampu menggerek tingkat elektabilitas Partai Golkar ke depannya. Dan kampanye rebranding Golkar lewat perubahan slogan tidak akan mendapat dukungan positif secara image dari sosok Ketua Umum barunya ini.

Lalu mustinya bagaimana Golkar melakukan rebranding?

Jika mau, tentunya Golkar musti memilih tokoh pucuk pimpinan partai yang memenuhi point-point positif terhadap brand sebagai berikut.

  1. Tokoh bersangkutan antitesis Setya Novanto (dan kasus korupsinya)
  2. Tokoh bersangkutan populis di akar rumput
  3. Tokoh bersangkutan tidak terlibat konflik antar faksi di dalam Golkar dan bisa diterima semua faksi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun