Mohon tunggu...
Tupari
Tupari Mohon Tunggu... Guru di SMA Negeri 2 Bandar Lampung

Saya adalah pendidik dan penulis yang percaya bahwa kata-kata memiliki daya ubah. Dengan pengalaman lebih dari 20 tahun di dunia pendidikan, saya berusaha merangkai nilai-nilai moral, spiritual, dan sosial ke dalam pembelajaran yang membumi. Menulis bagi saya bukan sekadar ekspresi, tapi juga aksi. Saya senang mengulas topik tentang kepemimpinan, tantangan dunia pendidikan, sosiologi, serta praktik hidup moderat yang terangkum dalam website pribadi: https://tupari.id/. Kompasiana saya jadikan ruang untuk berbagi suara, cerita, dan gagasan yang mungkin sederhana—namun bisa menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Musim Hajatan Sebelum Sura: Ketika Bediding dan Rewang Bertabrakan

24 Juni 2025   21:05 Diperbarui: 24 Juni 2025   21:01 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Rewang di musim Bediding. Sumber: Generated by AI

Musim Hajatan Sebelum Sura: Ketika Bediding dan Rewang Bertabrakan

Bayangkan pagi yang diselimuti dingin. Kabut turun perlahan menyelimuti atap-atap kampung, menyusup ke sela-sela jendela dinding rumah. Udara sejuk khas bediding mengajak tubuh untuk menarik selimut lebih rapat, menikmati hening, dan memperlambat segalanya.

Namun di saat itulah, ada yang justru memilih bangun lebih awal. Bukan karena rutinitas, bukan pula karena pekerjaan. Mereka bergerak karena panggilan jiwa -menjadi bagian dari tradisi yang terus hidup: rewang.

Mereka menyeduh teh hangat, membawa tas berisi perlengkapan, lalu berjalan pelan menuju rumah tetangga yang akan punya hajatan. Bukan karena digaji, tapi karena gotong royong adalah bahasa cinta dalam budaya mereka.

Dan tahun ini, musim rewang terasa lebih padat. Bulan Sura sudah di ambang pintu. Keyakinan warisan leluhur membuat banyak keluarga ingin menyelesaikan hajat sebelum bulan yang dianggap kurang baik untuk berpesta itu tiba. Maka pesta pun dipercepat, undangan dilayangkan serentak, dan dapur-dapur warga pun menyala tanpa jeda.

Di sinilah paradoks itu hadir. Ketika bediding seolah memberi alasan untuk diam dan beristirahat, rewang justru dipanggil untuk bergerak lebih keras. Di tengah tubuh yang ingin mengendap hangat, mereka malah harus berpindah-pindah dapur, menyiapkan nasi, menyambut tamu, merapikan piring, dan memikul tanggung jawab sosial yang tak pernah tertulis.

Inilah kisah yang tak banyak disorot: tentang mereka yang menjaga denyut tradisi di tengah dinginnya pagi -dengan tubuh lelah, tapi hati yang tulus. Saya tergelitik oleh cerita seorang teman di kampung, yang tengah terengah-engah menghadapi padatnya jadwal rewang menjelang Bulan Sura - di tengah musim bediding yang menusuk seperti sekarang.

Bediding: Ketika Alam Mengajak Diam

Bediding bukan hanya cuaca, tapi bahasa alam yang diam-diam mengetuk hati. Ia seperti sapaan lembut semesta yang berkata, “Tenanglah sebentar, mari hadir penuh sadar.”
Di pagi seperti ini, langkah menjadi lebih pelan, suara menjadi lebih pelan, dan pikiran kita mulai memikirkan hal-hal yang biasanya kita abaikan.

Di pagi seperti ini, langkah melambat, suara melembut, dan kesadaran terhadap hal-hal kecil pun menguat. Bediding seakan mengembalikan kita ke diri yang sederhana -bukan sebagai mesin produksi, melainkan manusia yang merasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun