Di tengah deru mesin dan hiruk-pikuk pembangunan kota, berdiri sepetak sawah yang tersisa- sunyi, namun sarat makna. Ia menjadi saksi bisu benturan dua arus besar: kebutuhan papan dan kebutuhan pangan. Ketika apartemen dan perumahan tumbuh menjulang, sawah-sawah ini perlahan menghilang, tergilas beton demi pembangunan yang katanya kemajuan.Â
Padahal, di balik setiap butir nasi yang kita makan, ada lahan yang terus menyempit dan petani yang kian tersisih. Ironi negeri agraris: makan nasi setiap hari, tapi membiarkan sawah pergi.
Di balik megahnya tembok-tembok perumahan yang terus menjalar ke segala arah kota, ada yang pelan-pelan hilang dari pandangan dan kesadaran: sawah.Â
Foto ini saya ambil sendiri, di sebuah sudut kota yang sedang bertumbuh. Sengaja saya abadikan biar kelak bisa jadi warisan sejarah bahwa di tempat ini pernah ada sumber pangan yang menjaga kita tetap hidup. Ini salah satu yang menjadi keresahan hati saya; lahan sawah berkurang sementara perumahan semakin meningkat.
Sepetak sawah yang tersisa, berdiri diam dan hijau di antara kepungan dinding-dinding rumah beton. Sebuah pemandangan kontras yang makin jarang kita temui. Bukan karena sawahnya tidak penting, tetapi karena laju pembangunan tidak memberi cukup ruang untuk mempertahankan identitas ruang hijau ini.
Paradoks Kota: Rumah Bertambah, Sawah Menghilang
Pertambahan penduduk dan kebutuhan tempat tinggal memang fakta. Tapi yang jadi masalah adalah laju alih fungsi lahan pertanian yang nyaris tanpa kendali dan tanpa arah perencanaan jangka panjang. Jika semua dijadikan kawasan perumahan, dari mana kita akan makan?
Data dari BPS menunjukkan bahwa Indonesia kehilangan rata-rata 96.500 hektare lahan sawah tiap tahun. Sebagian besar berubah menjadi permukiman, jalan, dan kawasan industri. Ironisnya, ini justru terjadi di daerah-daerah subur yang menjadi lumbung padi.
Ketika Sawah Menjadi "Pengganggu" Pemandangan Kota