Fenomena cancel culture kian menjadi perbincangan global, termasuk di Indonesia.Â
Awalnya, praktik ini muncul sebagai respons terhadap individu atau institusi yang dinilai melanggar norma sosial, moral, atau etika tertentu.Â
Para pelaku cancel culture menuntut pertanggungjawaban dengan menekan agar individu yang bersangkutan kehilangan jabatan, pekerjaan, atau reputasi mereka di ruang publik.Â
Namun, dalam perkembangannya, cancel culture bukan sekadar alat untuk menuntut akuntabilitas, tetapi juga menjadi medan pertempuran antara kebebasan berekspresi dan tuntutan sosial yang terus berubah.
Di lingkungan akademik, misalnya, para dosen atau peneliti yang mengeluarkan pernyataan kontroversial terkait isu ras, gender, atau orientasi seksual semakin sering menghadapi seruan untuk diberhentikan.Â
Sebagian pihak melihat ini sebagai langkah maju dalam menegakkan standar etika di dunia pendidikan, sementara yang lain menganggapnya sebagai ancaman terhadap kebebasan akademik.Â
Di luar ranah akademik, selebritas, tokoh publik, bahkan politisi di Indonesia juga tak luput dari gelombang cancel culture.
Namun, perdebatan tentang cancel culture kerap terjebak dalam dikotomi sempit: apakah ini fenomena positif atau negatif?Â
Pendekatan Transition Design, yang menyoroti cara sistem sosial beradaptasi dengan perubahan, menawarkan perspektif yang lebih luas.Â
Dengan menggunakan konsep Multi-Level Perspective (MLP), cancel culture dapat dilihat sebagai inovasi sosial yang lahir dari kegagalan sistem akuntabilitas yang ada.