Dulu, ukuran kesuksesan seseorang bisa dilihat dari seberapa sering dia nongol di arisan keluarga sambil bawa oleh-oleh atau saat reunian.
Sekarang? Ukuran sukses itu ada di Instagram, TikTok, dan Twitter (eh, X).
Kalau feed-mu tidak berisi foto liburan ke Jepang, ngopi di kafe estetik, atau unboxing iPhone terbaru, siap-siap dianggap “gagal hidup” oleh netizen yang bahkan tidak kamu kenal.
Media sosial telah mengubah cara kita memandang diri sendiri dan orang lain.
Sekarang, sukses itu bukan lagi soal kerja keras atau pencapaian, tapi soal bagaimana kamu bisa membuat hidupmu terlihat sukses di internet.
Masalahnya, apa yang kita lihat di medsos seringkali hanyalah tipuan optik.
Orang yang pamer mobil mewah belum tentu beli cash—bisa jadi masih kredit 60 bulan, dan kalau telat bayar, mobilnya balik ke leasing.
Yang pamer traveling ke Eropa mungkin habis jual motor satu-satunya.
Sementara yang tiap hari upload foto di kafe mahal, bisa jadi cuma pesen satu kopi tapi duduk dari pagi sampai tutup.
Tapi mau gimana lagi? Kita hidup di zaman di mana eksistensi seseorang diukur dari jumlah like dan view.
Kalau unggahanmu nggak ada yang komen, rasanya kayak ngomong di kuburan: hening, sepi, dan menyedihkan.