Mohon tunggu...
K.R. Tumenggung Purbonagoro
K.R. Tumenggung Purbonagoro Mohon Tunggu... Freelancer - Pembelajar

Pengamat dan Suka Menulis Twitter: twitter.com/purbonagoro

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mengkritisi Daya Kritis LBH Jakarta

25 Oktober 2021   08:51 Diperbarui: 25 Oktober 2021   09:18 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Istimewa LBH Jakarta

Kritik yang disampaikan oleh organisasi atau lembaga swadaya masyarakat seperti Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta terhadap Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan wajib dihormati dalam konteks demokrasi. Namun kritik mestinya berbasis data dan fakta. Kritik tanpa pijakan kuat justru mengesankan adanya agenda lain di baliknya. Mari kita bedah 10 poin kritik yang disampikan LBH Jakarta atas kepemimpinan Gubernur Anies selama empat tahun.

1. Buruknya kualitas udara Jakarta
Kualitas udara di Jakarta bukan isu baru. Namun menyebut Pemprov DKI abainya melakukan langkah-langkah pencegahan dan penanggulangan jelas tidak berdasar. Bahkan sejak 2019 lalu Anies telah mengeluarkan Intruksi Gubernur Nomor 66 Tahun 2019 tentang Pengendalian Kualitas Udara.

Banyak sekali program yang dilakukan Pemprov DKI untuk mengendalikan kualitas udara seperti meningkatkan layanan moda transportasi secara terintegral, memperlebar serta mempercantik trotoar agar ramah bagi pejalan kaki, dan membangun jalur sepeda. Muara dari kebijakan ini adalah menekan penggunaan kendaraan pribadi yang menjadi penyokong utama polusi udara di Jakarta.

Apakah LBH Jakarta telah memasukan fakta ini ketika menyebut “Pemprov DKI abai” dalam upaya pencegahan dan penanggulangan polusi udara di Jakarta?

2. Sulitnya akses air bersih di Jakarta akibat swastanisasi air
Swastanisasi air dilakukan oleh pejabat sebelumnya. Menurut salah seorang pengacara publik Alghiffari Aqsa, swastanisasi air di Jakarta sudah berlangsung sejak 21 tahun lalu.  Selama ini nyaris tidak ada lembaga yang peduli sampai akhirnya digugat ke Mahkamah Agung (MA) pada tahun 2017.

Gubernur Anies langsung membentuk Tim Kelola Tata Air melalui Keputusan Gubernur Nomor 1149 Tahun 2018 untuk menindaklanjuti putusan MA yang memerintahkan agar pengelolaan air di Jakarta dikembalikan ke pemerintah daerah. Anies juga menugaskan PD PAM Jaya selaku BUMD Pemprov DKI untuk berunding dengan pihak swasta yang memegang kontrak pengelolaan air di Jakarta.

Namun di tengah jalan, langkah Tim Kelola Tata Air terganjal ketika Kementerian Keuangan mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas putusan MA dan dikabulkan karena penggugat (KMMSAJ) dinyatakan tidak memenuhi syarat Citizen Law Suit.
Apakah LBH Jakarta sudah mempelajari hal ini sebelum mengeluarkan kertas merah?

3. Penanganan banjir belum mengakar pada penyebab.
Poin ini cukup menarik justru karena jauh panggang dari api. Jika LBH jakarta mau sedikit menengok data banjir di Jakarta selama 4 tahun terakhir, mungkin poin ini tidak akan ada. Bukan hanya luas cakupan wilayah banjir yang berkurang dratis dibanding tahun-tahaun sebelumnya, lama genangan air yang terjadi saat hujan lebat dengan intensitas tinggi, tidak sampai 2 jam.  Tidak sampai berhari-hari seperti tahun 2017, apalagi 2015 lalu.    

Foto: Sumber Data BPBD
Foto: Sumber Data BPBD

Lebih menggelikan lagi ketika LBH Jakarta memasukan poin betoninsasi yang disebutnya masih menjadi kebijakan penanganan banjir di era Gubernur Anies. Apakah LBH Jakarta lupa jika poin perdebatan paling “keras” saat musim hujan tiba adalah tudingan keengganan Anies melanjutkan betonisasi sungai?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun