Mohon tunggu...
K.R. Tumenggung Purbonagoro
K.R. Tumenggung Purbonagoro Mohon Tunggu... Freelancer - Pembelajar

Pengamat dan Suka Menulis Twitter: twitter.com/purbonagoro

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Langkah Laporan Polisi Luhut dan Moeldoko Potensi Matikan Demokrasi

26 September 2021   06:59 Diperbarui: 26 September 2021   07:02 681
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Moeldoko dan mantan Komandan Pendidikan dan Latihan TNI Jenderal (HOR) Luhut Binsar Pandjaitan melaporkan aktivis civil society ke Bareskrim Polri. Menariknya, keduanya adalah anggota Kabinet Presiden Joko Widodo yang tengah berkuasa.

Murni dugaan pencemaran nama baik atau ada grand design untuk mematikan kritik yang menjadi roh demokrasi?

Seperti diketahui, Moeldoko yang kini menjabat Kepala Kantor Staf Presiden (KSP), Jumat (10/9/2021) lalu melaporkan dua peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Egi Primayogha dan Miftachul Choir ke Bareskrim Polri atas dugaan pencemaran nama baik.

Moeldoko menuding tidak ada ada iktikad baik dari kedua terlapor untuk mencabut pernyataan terkait tuduhan terhadap dirinya soal pemburuan rente dalam peredaran Ivermectin dan ekspor beras antara Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) dan PT Noorpay Nusantara Perkasa.

Sebelumnya, Egi Primayoga menyebut ada dugaan PT Harsen Laboratories memiliki hubungan dengan Moeldoko. Dugaan itu muncul setelah Moeldoko “mempromosikan” Ivermectin untuk Covid-19.

Sementara Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan melaporkan aktivis HAM Haris Azhar dan Koordinator Kontras Fatia Maulidiyanti ke polisi, Rabu (22/9/2021). Bukan hanya pidana, Luhut juga melaporkan secara perdata.

Menurut Luhut, laporannya sebagai “pembelajaran kepada publik supaya mereka yang merasa publik figur itu menahan diri untuk memberikan statemen tidak bertanggung jawab”. Luhut mengklaim laporannya bersifat pribadi, bukan dalam kapasitas sebagai pejabat.  

Kasus ini berawal dari diskusi yang dilakukan Haris dan Fatia mengenai dugaan keterlibatan Luhut dalam bisnis tambang di Papua berdasar laporan "Ekonomi-Politik Penempatan Militer di Papua: Kasus Intan Jaya" yang dilakukan YLBHI, Walhi Eksekutif Nasional, Pusaka Bentala Rakyat, Walhi Papua, LBH Papua, Kontras, JATAM, Greenpeace Indonesia, hingga Trend Asia. Hasil diskusi keduanya kemudian diunggah ke kanal Youtube Haris Azhar dengan judul  "Ada Lord Luhut di Balik Relasi Ekonomi-OPS Militer Intan Jaya!! Jenderal BIN Juga Ada!! NgeHAMtam".

Kita menghargai langkah Luhut, juga Moeldoko, untuk menempuh jalur hukum sebagai bagian dari asas kesetaraan di depan hukum. Tetapi hal itu tidak cukup untuk menggugurkan lima hal lainnya dalam perspektif demokrasi dan civil society.

Pertama, sebagai pejabat publik -terlebih pembantu presiden- Luhut dan Moeldoko memiliki kewajiban untuk ikut memelihara kehidupan demokrasi di mana di antaranya adalah memberi ruang terhadap kritik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun