Mohon tunggu...
Politik

Pemilu dan Masa Depan Pendidikan Nasional

22 April 2019   13:52 Diperbarui: 22 April 2019   14:42 446
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kurikulum 2013 atau lazim disebut "Kurtilas" yang diterapkan sekarang ini merupakan salah satu unsur dalam dunia pendidikan yang wajib dikritisi. Sebenarnya Kurikulum 2013 ("Kurtilas") merupakan revisi dari Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006 yang menekankan 3 aspek penilaian yaitu aspek pengetahuan, aspek keterampilan dan aspek sikap perilaku dengan outputnya adalah perubahan pendidikan karakter yang terintegrasi di sekolah termasuk meliputi perubahan budaya literasi di sekolah (PerMendikbud No. 59 tahun 2014 mengenai Kurikulum 2013). 

Namun seiring dengan waktu, banyak keluhan dalam pelaksanaan "Kurtilas" ini khususnya mengenai beban standar kompetensi dan kompetensi dasar yang dinilai terlalu tinggi. Bahkan beberapa pendidik mengakui bahwa materi pembelajaran pada jaman dahulu merupakan standar kompetensi level menengah sekarang ini sudah menjadi standar kompetensi level dasar. Itu semua masih ditambah dengan kegiatan pembelajaran di rumah melalui "kerkel (kerja kelompok)" atau "bekel (belajar kelompok)". Dalam prakteknya penerapan kurikulum cenderung hanya mengutamakan aspek kognitif yang mengabaikan proses afektif humanisasi pendidikan. 

P

ermasalahan lain dalam dunia pendidikan adalah maraknya tindak kekerasan. Pengamatan kami payung hukum tindak kekerasan tadi semata mengacu kepada kaidah-kaidah hukum (pidana) positif seperti Pasal 80, Pasal 81, dan Pasal 82 UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juncto Pasal 13, Pasal 76 dan Pasal 80 UU No. 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 23 tahun 2002 maupun Pasal 351 Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP). Ironisnya, kita semua menganggap bahwa penerapan hukum (pidana) positip tadi dianggap sebagai solusi. Padahal penerapan hukum (pidana) positip tersebut sebenarnya merupakan langkah terakhir sebagai unsur pemaksa (represif) agar tindak (pidana) kekerasan tidak terulang lagi. 

Kita lupa merumuskan upaya pencegahan agar tindak (pidana) kekerasan dalam dunia pendidikan tidak terjadi (unsur preventif). Yang wajib dicermati adalah mengapa tindak kekerasan dalam dunia pendidikan tersebut selalu terulang. Konstruksi media yang begitu cepat dan luas tentang perilaku kekerasan dalam berbagai tayangan media cetak, media elektronik dan media sosial hingga game online sangat massif mempengaruhi pola pikir para pelaku pendidikan. Akibatnya para pelaku pendidikan (peserta didik dan pendidik) merekam dalam memori ingatan mengenai pelanggaran yang disertai oleh sanksi hukuman fisik sehingga berbagai tindakan kekerasan fisik tadi dianggap sebagai suatu kewajaran, suatu hal yang lumrah dilakukan.

Bapak pendidikan nasional Ki Hadjar Dewantara sebenarnya telah meletakkan pondasi dasar menyangkut konsepsi konstruksionalis eksperensial, dimana wiyata mandala dan peran pendidik sebagai mediator bagi para peserta didik untuk mengalami proses pendidikan secara langsung dan nyaman sehingga pendidik bukan lagi sebagai momok yang ditakuti melainkan sebagai figur bersahabat yang disegani. Konsep ini lazim dikenal sebagai tut wuri handayani. Sedangkan konsep wiyata mandala Ki Hajar Dewantara adalah sekolah yang tidak semata untuk menimba ilmu namun juga membuat peserta didik merasa betah, nyaman, bahagia dalam memahami pelajaran dan dapat berinteraksi dengan lingkungan alam sekitar. Disini terlihat bahwa Ki Hajar Dewantara "telah mendahului" tokoh pendidikan alternatif kaum tertindas Paulo Freire.

Selanjutnya yang tidak kalah penting ialah alokasi dana pendidikan nasional. Sejak tahun 2005 sampai 2008 LBH Pendidikan terlibat langsung dalam sosialisasi awal anggaran 20% dari APBN bersama dengan Komnas HAM RI. Patut kita apresiasi bahwasanya hingga tahun 2019 alokasi dana pendidikan selalu mengalami peningkatan dan sekarang ini mencapai Rp. 487,9 trilyun (website Kementerian Keuangan). 

Dengan anggaran sebesar itu tentu menjadi harapan kita agar pendidikan nasional semakin maju dan dapat bersaing secara global. Muncul pertanyaan kita bersama sudah tepatkah penyaluran dana pendidikan tersebut? Lantas bagaimanakah pengawasan alokasi anggaran pendidikan yang sedemikian besar itu? Apakah cukup dengan institusi inspektorat jenderal atau perlu bersinergi dengan institusi eksternal lainnya? 

Lalu bagaimana peran aktif Komnas Pendidikan Pusat dan Komnas Pendidikan Daerah dalam mengawasi, merumuskan, serta mengevaluasi pelaksanaan pendidikan nasional. Jarang sekali kita dengar kiprah Komnas Pendidikan Pusat maupun Komnas Pendidikan Daerah. Komnas Pendidikan Pusat dan Komnas Pendidikan Daerah tidak perlu gengsi untuk merangkul seluruh stake holder dunia pendidikan untuk duduk bersama berdiskusi, mengawasi berbagai dinamika dunia pendidikan atau pun merumuskan berbagai RPP/Raperda pendidikan yang "milenial" sebagaimana diamanatkan dalam UU No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.    

D

ari penghitungan quick count terlihat Presiden Joko Widodo akan kembali memimpin republik ini. Tentunya kita semua tidak ingin pergantian rezim (kabinet) berakumulasi terjadinya perubahan radikal dalam kebijakan pendidikan hingga gonta-ganti kurikulum yang secara otomatis berdampak langsung pada dunia pendidikan nasional wabil khusus membingungkan stake holder pendidikan. Apabila Presiden Joko Widodo telah dilantik salah satu program kerja 100 hari beliau jelas merevisi dan merekonstruksi arah kebijakan pendidikan beliau yang terdahulu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun