Mohon tunggu...
Tulus Hasudungan Pardosi
Tulus Hasudungan Pardosi Mohon Tunggu... Profesional -

"Bukan siapa-siapa dan bukan apa-apa. Hanya orang Biasa yang diberikan Tuhan kesempatan dan pengalaman Luar Biasa."

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Mereka Adalah Pembunuh

22 April 2014   15:36 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:21 287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah sekian lama tidak menulis, akhirnya saya muncul kembali di kompasiana dengan pemikiran-pemikiran yang mungkin Kontroversial dan tidak dapat diterima secara umum. Tapi biarlah, namanya juga buah pemikiran pribadi...

Tulisan ini sebenarnya sudah lama dibuat, namun setelah disebar ke beberapa surat kabar dan tidak ada yang mau memuat di kolom Opini, maka akhirnya tulisan ini saya muat di KOmpasiana saja. Setidaknya bisa berbagi pemikiran dengan para Kompasianer...

MEREKA ADALAH PEMBUNUH

(Oleh: Tulus Pardosi)



Baru-baru ini kita dikejutkan dengan pembunuhan yang dilakukan oleh sepasang remaja terhadap mantan pacar si remaja putra dan menjadi saingan si remaja putri. Ahmad Imam Al Hafitd alias Hafitd (19) dan Assyifa Ramadani alias Syifa (18) adalah pelaku yang diduga kuat telah menghabisi nyawa korbannya, Ade Sara Angelina Suroto alias Sara (18) dan membuang mayat korban di pinggir jalan tol Bintata, Bekasi.

Pelaku menghabisi nyawa korban dengan terlebih dahulu menganiaya korban di dalam mobil dengan menggunakan alat setrum dan menyumpal mulut korban dengan menggunakan korban sehingga korban meninggal karena kehabisan nafas.

Beberapa orang mungkin beranggapan bahwa peristiwa ini merupakan “ketidak-sengajaan” atau di dalam Pasal 351 ayat (3) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (“KUHP”) berupa penganiayaan yang mengakibatkan kematian dengan ancaman pidana maksmimum hanya 7 (tujuh) tahun. Hal ini juga diamini oleh seorang Pakar  Psikologi Forensik, Reza Indragiri Amriel di dalam sebuah surat kabar yang menyatakan bahwa perbuatan yang dilakukan oleh pelaku bukanlah pembunuhan yang disengaja melainkan pembunuhan yang tak disengaja atau accidental murder.

Reza berpendapat bahwa niat para pelaku pada awalnya hanya ingin menyakiti korban, tetapi terjadi sesuatu di luar antisipasi pelaku yang pada akhirnya mengakibatkan korban tewas atau biasa disebut collateral damage. Oleh karenanya, Reza beranggapan bahwa perbuatan yang dilakukan para pelaku hanyalah sebatas accidental murder (pembunuhan yang tidak disengaja) dan bukan intentional murder (pembunuhan yang disengaja).

Lebih lanjut Reza menyatakan bahwa apabila setelah menginterograsi pelaku kemudian penyidik ingin mengkategorikan perbuatan para pelaku adalah pembunuhan berencana atau pembunuhan yang disengaja, maka menurut Reza telah terjadi False Confession yang dilakukan oleh para pelaku.

Ada Kesengajaan

Menurut hemat saya, terdapat kesengajaan atau niat dari pelaku untuk menghabisi nyawa korban. Hukum pidana telah dengan tegas menyatakan untuk suatu perbuatan dapat dikatakan perbuatan pidana, harus terpenuhi 2 (dua) hal inti yaitu actus reus dan mens rea. Actus reus merupakan tindakan pelaku di lapangan yang menyebabkan terjadinya peristiwa pidana, sedangkan mens rea merupakan sikap batin atau niat dari pelaku untuk melakukan perbuatan pidana. Kedua hal ini harus terpenuhi untuk dapat mengatakan perbuatan pelaku dalam kasus ini dapat dikategorikan pembunuhan berencana sebagaimana dalam Pasal 340 KUHP atau pembunuhan disengaja sebagaimana dalam Pasal 338 KUHP atau tidak.

Berbicara Actus Reus, tentu terlihat bahwa perbuatan yang dilakukan para pelaku tidak terlihat seperti sebuah kesengajaan atau direncanakan terlebih dahulu. Namun, mari kita urai dan analisis perbuatan para pelaku satu demi satu. Pertama, Hafitd meminta korban untuk bertemu tetapi korban tidak menanggapi. Kemudian Hafitd meminta Syifa untuk menghubungi korban dan akhirnya korban menanggapi dan bertemu pelaku. Kedua, pelaku membawa korban ke dalam mobil dan bersitegang. Kemudian, ketika korban ingin melarikan diri, pelaku menarik rambut korban, menyetrum tubuh korban berkali-kali dan menyumpal mulut korban dengan koran hingga akhirnya korban meninggal.

Jika melihat melihat uraian perbuatan di atas, apa yang dilakukan oleh pelaku terlihat sebagai sebuah spontanitas yang terjadi begitu saja dan berakibat pada meninggalnya korban. Namun, coba lihat kembali ketika korban menolak ajakan Hafitd untuk bertemu, mengapa Hafitd malah kemudian meminta Syifa untuk menghubungi korban? Mengapa Hafitd malah meminta Syifa yang notabene membenci korban untuk menghubungi korban? Di sini terlihat ada “niat tidak baik” dari pelaku terhadap korban walaupun belum dapat disimpulkan sebagai niat untuk merampas nyawa korban.

Lalu pada saat korban ingin melarikan diri, mengapa pelaku malah kemudian menarik korban untuk masuk kembali ke dalam mobil? Dalam hal ini terlihat bahwa pelaku memang telah “berencana” untuk berbuat yang tidak baik terhadap korban. Tidak hanya berhenti di situ, ternyata pelaku juga menyetrum korban berkali-kali dengan menggunakan stunt gun hingga korban pingsan. Setelah korban pingsan, pelaku bukannya berusaha membebaskan korban, namun malah tetap membawa korban di dalam mobil. Kemudian, ketika korban mulai sadar dan ingin membebaskan diri, pelaku kembali menyiksa korban dan menyumpal mulut korban dengan koran hingga korban meregang nyawa.

Jika pelaku memang tidak memiliki niat menghabisi nyawa korban, mengapa pelaku tidak membebaskan korban ketika korban pingsan? Atau mengapa pelaku kembali menyiksa korban ketika korban mulai sadar?

Dalam ilmu hukum, dikenal teori conditio sine quanon yang berarti ada serangkaian perbuatan yang saling terkait dan menjadi faktor-faktor terjadinya suatu akibat. Bahwa serangkaian perbuatan pelaku mulai dari menghububungi korban untuk bertemu, menarik rambut korban, menyetrum korban berkali-kali, dan menyumpal mulut korban merupakan conditio sine quanon yang mengakibatkan korban meninggal dunia.

Selain itu, dalam Hukum Pidana dikenal 3 (tiga) corak kesengajaan untuk membagi niat atau sikap batin seseorang dalam melakukan tindak pidana, yaitu kesengajaan dengan maksud (Opzet Als Oogmerk), kesengajaan dengan sadar kepastian (Opzet Met Zekerheidsbewustzjin), dan kesengajaan dengan sadar kemungkinan (Voorwaardelijk Opzet atau biasa disebut Dollus Eventualis).

Apa yang dilakukan oleh pelaku dalam kasus ini dapat dikategorikan sebagai kesengajaan dengan sadar kepastian (Opzet Met Zekerheidsbewustzjin) yang berarti bahwa si pelaku secara pasti mengetahui akibat dari perbuatannya namun tidak menghendaki akibatnya sekalipun tetap melakukannya. Hal ini mungkin selaras dengan pendapat Reza Indragiri yang menyatakan bahwa pelaku tidak memiliki niat untuk menghabisi nyawa korban. Namun berdasarkan corak kesengajaan ini, walaupun pelaku tidak menghendaki akibat perbuatannya, tetapi pelaku tetap melakukannya sekalipun sudah mengetahui apa akibat dari perbuatannya.

Contoh dari corak kesengajaan ini adalah A menusuk B dengan pisau padahal A tidak memiliki niat untuk membunuh B. Walaupun A mengetahui secara pasti akibat yang akan terjadi dan A tidak memiliki niat untuk membunuh B, namun A tetap melakukannya.

Selain corak kesengajaan dengan sadar kepastian, perbuatan pelaku juga dapat dikategorikan dalam kesengajaan dengan sadar kemungkinan (Voorwaardelijk Opzet) atau biasa disebut Dollus Eventualis yang berarti bahwa si Pelaku seharusnya dapat menduga / mengira-ngira akibat dari perbuatannya namun tetap melakukan perbuatan itu walaupun tidak menghendaki akibat yang ditimbulkan terjadi. Dalam kasus ini, kalaupun pelaku tidak menghendaki korban meninggal dunia, namun seharusnya pelaku dapat menduga / mengira-ngira serangkaian perbuatan yang dilakukannya dapat mengakibatkan hilangnya nyawa korban.

Penerapan Hukum Progresif

Jika penyidik dan penuntut umum dapat menguraikan dengan baik dan jelas bahwa perbuatan-perbuatan yang dilakukan para pelaku merupakan conditio sine quanon yang menjadi penyebab kematian korban, maka unsur kesengajaan telah terpenuhi atas diri para pelaku yang dalam hal ini adalah kesengajaan dengan sadar kepastian atau setidak-tidaknya dapat dikategorikan dalam Dollus Eventualis (Kesengajaan dengan sadar kemungkinan). Para pelaku dapat menduga atau seharusnya dapat menduga bahwa perbuatan menarik korban, menyetrum berkali-kali, dan menyumpal mulut korban dapat mengakibatkan hilangnya nyawa korban. Namun pelaku tetap melakukannya walaupun tidak menghendaki terjadinya akibat tersebut.

Menurut Alm. Prof. Satjipto Rahardjo, S.H., Hukum Progresif adalah Hukum yang membebaskan. “Hukum untuk Manusia”.Dan oleh karena itu, apabila terjadi hambatan-hambatan terhadap pencapaiannya maka dilakukan pembebasan-pembebasan, baik dalam berilmu, berteori, dan berpraktek. Perspektif Hukum Progresif tidak bersifat rule bound (Rbo), yang menggarap hukum semata-mata menggunakan “rule and logic” atau rechtdogmatigheid, dengan alur berpikir linier, marsinal, dan deterministik.

Bahwa paradigma Hukum Progresif akan senantiasa berpikir Rule-breaking (Rbr). Dalam berpikir Rbr, yang memaksa kita untuk berani tidak selalu tunduk dan mengikuti alur linier, marsinal, dan deterministik. Dan perlu disadari bahwa Hukum bukanlah institusi yang absolute dan final, melainkan proses untuk membuat hukum selalu dalam proses menjadi (law as process, law in the making).

Hukum Progresif sama sekali tidak bermaksud untuk mengesampingkan hukum itu sendiri, namun memberikan ruang untuk melakukan “kreatifitas dalam memberi penafsiran dan membaca hukum melampaui alur berpikir logika peraturan. Selain itu, penerapan Paradigma Hukum Progresif berusaha untuk menempatkan hukum lebih terhormat dan fungsional karena ia tampil sebagai humanus, yang menempatkan kepentingan dan unsur manusia di atas Undang-undang.

Agar paradigma hukum progresif tidak terjebak dalam absolutisme manusia, dalam arti peniadaan rambu-rambu atau aturan hukum, konsep Progresif haruslah berakar pada sikap “Menghargai Hukum dan Menempatkan Hukum Sebagai Pijakan”, meskipun “Tidak Absolut.”

Berangkat dari perspektif di atas, mara perbuatan pelaku dalam kasus ini dapat dikategorikan sebagai pembunuhan berencana (Pasal 340), Subsidiair pembunuhan yang disengaja (Pasal 338 KUHP). Jika penyidik dan penuntut umum dapat melakukan penelaahan secara komprehensif dengan mencoba berpikir Rule-breaking dan menggandeng hukum progresif dalam penguraian unsur-unsur tindak pidana, maka perbuatan para pelaku tidak hanya berhenti pada penganiayaan yang mengakibatkan kematian atau sekedar perbuatan psikopatik akibat gangguan kejiwaan, melainkan murni sebagai sebuah pembunuhan. Dan hal ini diharapkan dapat memenuhi rasa keadilan dan tidak menafikkan kepentingan di masyarakat.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun