Mohon tunggu...
Tulus Hasudungan Pardosi
Tulus Hasudungan Pardosi Mohon Tunggu... Profesional -

"Bukan siapa-siapa dan bukan apa-apa. Hanya orang Biasa yang diberikan Tuhan kesempatan dan pengalaman Luar Biasa."

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Advokat & Rahasia Klien Vs Pencucian Uang

14 Mei 2012   04:32 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:19 1791
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

ADVOKAT & RAHASIA KLIEN Vs PENCUCIAN UANG

Oleh: Tulus H Pardosi

Kasus Pencucian Uang nampaknya sedang menjadi liputan Hukum yang hangat diperbincangkan di Indonesia saat ini terutama Tindak Pidana Pencucian dengan Tindak Pidana asalnya adalah Tindak Pidana Korupsi. Banyak nama-nama yang bermunculan, mulai dari Muhammad Nazaruddin, Wa Ode, hingga nama mantan Badan Anggaran dari Partai Demokrat dan Mantan Putri Indonesia, Angelina Sondakh.

Banyak spekulasi dan pendapat yang bermunculan dari kasus-kasus ini. Mulai dari rencana penerapan Justice Collaborator bagi salah satu Tersangka (baca: http://hukum.kompasiana.com/2012/05/06/kpk-lembaga-superbodysuperbodong/), hingga apakah KPK dapat menggunakan Pasal mengenai Pencucian Uang dalam melaksanakan penelusuran Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan oleh para Tersangka. (baca: http://hukum.kompasiana.com/2012/05/10/kpk-vs-pencucian-uang-dan-pelanggaran-undang-undang/ ). Namun saya tidak akan membahas itu karena sudah saya bahas di artikel saya sebelumnya. Namun ternyata ada yang menarik untuk dicermati dari kasus-kasus Pencucian Uang saat ini yaitu mengenai “Apakah Advokat yang menerima pembayaran dari Harta Kekayaan Klien yang diduga berasal dari Tindak Pidana, maka dapat dikenakan Pasal 5 UU Nomor 8 Tahun 2010 sebagai Pelaku Pencucian Uang?”

Ada pernyataan menarik dari Salah satu Pakar Pencucian Uang dari Universitas Trisakti, yang juga disebut-sebut sebagai Guru Besar Money Laundering pertama di Indonesia, Ibu Yenti Ganarsih. Beliau berpendapat demikian : “Apabila kita konsisten dengan ketentuan pasal 5, maka dengan sendirinya pengacara yang menerima pembayaran atau success fee dari kliennya yang sedang tersangkut kasus tindak pidana pencucian uang, dan korupsi. Maka bisa dipastikan bahwa pengacara yang memperoleh success fee tersebut berasal dari kejahatan yang berarti bisa dikatakan sebagai pencucian uang.”

Dari pernyataan di atas, maka Beliau berpendapat BAHWA para Advokat / Lawyer / Pengacara dari Tersangka / Terdakwa Kasus Pencucian Uang, dapat dikatakan sebagai Pelaku Pencucian Uang juga kalau menerima bayaran dari uang Hasil Tindak Pidana dari Klien. Banyak Pro & Kontra yang muncul, terutama dari kalangan Advokat pastinya. Untuk itu, mari kita periksa satu persatu pendapat ini.

Mari kita mulai dari pendapat Yenti Ganarsih dengan melihat isi Pasal 5 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (selanjutnya disebut UU Nomo 8 Tahun 2010).

Pasal 5

(1)Setiap Orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan dendapaling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

(2)Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi Pihak Pelapor yang melaksanakan kewajiban pelaporan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

Jika melihat dari ketentuan di atas, maka dapat dipastika bahwa SETIAP ORANG yang berarti SIAPA SAJA “yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana” maka HARUS dipidana juga. Artinya, jika seorang Advokat mengetahui atau dapat menduga asal muasal Harta Kekayaan Kliennya yang digunakan untuk membayar jasa Advokat, maka Advokat tersebut juga dapat menjadi Tersangka Pencucian Uang.

Tapi seperti yang kita ketahui bahwa dalam memandang suatu permasalahan HUKUM, kita harus memandangnya secara Komperehensif dan Menyeluruh. Jika kita melakukan penerapan hokum hanya secara HARAFIAH, maka siap-siap saja terjadi berbagai Penyelundupan dan Kesesatan Hukum di masyarakat. Untuk itu, mari kita telaah satu persatu.

Yenti Ganarsih berpendapat:

Pengacara mau mendampingi dan mendapatkan bayaran dari klien yang sedang tersangkut tindak pidana pencucian uang, dan korupsi. Ini sudah bertanda adanya resiko terjerat pasal 5. Cuma, persoalannya peraturan itu tidak diterapkan pada lawyer. Padahal di dalam undang-undang tentang tindak pidana pencucian uang pasal 23 ayat (4) dikatakan:

“Kewajiban pelaporan atas Transaksi Keuangan Tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dikecualikan terhadap; Transaksi yang dilakukan oleh penyedia jasa keuangan dengan pemerintah dan bank sentral, transaksi untuk pembayaran gaji atau pensiun, dan transaksi lain yang ditetapkan oleh Kepala PPATK atau atas permintaan penyedia jasa keuangan yang disetujui oleh PPATK.”

Artinya pengacara dalam kedudukan pasal tersebut tidak dikecualikan. Karenanya, selain yang disebutkan dalam pasal tersebut tidak mendapatkan perlindungan dari UU tindak pidana pencucian uang dan lawyer bisa kemudian dijerat dangan pasal tersebut.

Berdasarkan Pasal tersebut, Ibu Pakar Pencucian Uang ini berpendapat bahwa Advokat wajib melaporkan Harta Kekayaan Kliennya yang diduga berasal dari Tindak Pidana. Dengan kata lain, di sini Advokat dapat bertindak sebagai Pihak Pelapor. Namun, sebelum kita terburu-buru mengambil kesimpulan, mari kita lihat apa kata UU Nomor 8 Tahun 2010 mengenai Pihak Pelapor.

PIHAK PELAPOR

Di dalam UU Nomor 8 Tahun 2010 disebutkan:

Pasal 19

(1) Setiap Orang yang melakukan Transaksi dengan Pihak Pelapor wajib memberikan identitas dan informasi yang benar yang dibutuhkan oleh Pihak Pelapor dan sekurang-kurangnya memuat identitas diri, sumber dana, dan tujuan Transaksi dengan mengisi formulir yang disediakan oleh Pihak Pelapor dan melampirkan Dokumen pendukungnya.

(2) Dalam hal Transaksi dilakukan untuk kepentingan pihak lain, Setiap Orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memberikan informasi mengenai identitas diri, sumber dana, dan tujuan Transaksi pihak lain tersebut.

Pasal 20

(1) Pihak Pelapor wajib mengetahui bahwa Pengguna Jasa yang melakukan Transaksi dengan Pihak Pelapor bertindak untuk diri sendiri atau untuk dan atas nama orang lain.

(2) Dalam hal Transaksi dengan Pihak Pelapor dilakukan untuk diri sendiri atau untuk dan atas nama orang lain, Pihak Pelapor wajib meminta informasi mengenai identitas dan Dokumen pendukung dari Pengguna Jasa dan orang lain tersebut.

(3) Dalam hal identitas dan/atau Dokumen pendukung yang diberikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak lengkap, Pihak Pelapor wajib menolak Transaksi dengan orang tersebut.

Pasal 21

(1) Identitas dan Dokumen pendukung yang diminta oleh Pihak Pelapor harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh setiap Lembaga Pengawas dan Pengatur.

JIKA mengacu pada beberapa ketentuan di atas, maka disimpulkan secara Gamblang bahwa ada pihak-pihak yang harus melaporkan Transaksi keuangan yang mencurigakan kepada Pihak Berwajib (Polisi, PPATK, dll) yang dapat diduga sebagai Pencucian Uang. Jika diartikan secara Gamblang, maka Advokat juga wajib menyampaikan Asal usul Harta Kekayaan dari Kliennya.

TAPI, mari kita lihat Pasal 17 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 2010:

(1)Pihak Pelapor meliputi:

a. penyedia jasa keuangan:

1. bank;

2. perusahaan pembiayaan;

3. perusahaan asuransi dan perusahaan pialang asuransi;

4. dana pensiun lembaga keuangan;

5. perusahaan efek;

6. manajer investasi;

7. kustodian;

8. wali amanat;

9. perposan sebagai penyedia jasa giro;

10. pedagang valuta asing;

11. penyelenggara alat pembayaran menggunakan kartu;

12. penyelenggara e-money dan/atau e-wallet;

13. koperasi yang melakukan kegiatan simpan pinjam;

14. pegadaian;

15. perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan berjangka komoditi; atau

16. penyelenggara kegiatan usaha pengiriman uang.

b. penyedia barang dan/atau jasa lain:

1. perusahaan properti/agen properti;

2. pedagang kendaraan bermotor;

3. pedagang permata dan perhiasan/logam mulia;

4. pedagang barang seni dan antik; atau

5.balai lelang.

Dari Pasal di atas, dapat kita lihat BAHWA Advokat TIDAK termasuk pada Pihak Pelapor. Bahkan dalam huruf (b) mengenai penyedia peyedia barang dan/atau jasa, tidak disebutkan mengenai Jasa Hukum/Advokat. Untuk itulah, kewajiban mengenai Pelaporan Asal Usul Harta Kekayaan klien, TIDAK BERLAKU bagi Advokat.

KODE ETIK

Selain mengenai Pihak Pelapor, ternyata Advokat juga dilindungi oleh Kode Etik. Untuk itu, mari kita lihat Kode Etik Advokat Indonesia yang disahkan pada tanggal 23 Mei 2002:

·Pembukaan

“…, setiap Advokat harus menjaga citra dan martabat kehormatan profesi, serta SETIA dan MENJUNJUNG TINGGI Kode Etik dan Sumpah Profesi, yang pelaksanaannya diawasi oleh Dewan Kehormatan sebagai suatu lembaga yang eksistensinya telah dan harus diakui setiap Advokat tanpa melihat dari organisasi profesi yang mana ia berasal dan menjadi anggota, yang pada saat mengucapkan Sumpah Profesi-nya tersirat Pengakuan dan Kepatuhannya terhadap Kode Etik Advokat yang berlaku.

Dengan demikian Kode Etik Advokat Indonesia adalah sebagai HUKUM TERTINGGI dalam menjalankan profesi, yang menjamin dan melindungi namun membebankan kewajiban kepada setiap Advokat untuk jujur dan BERTANGGUNG JAWAB dalam menjalankan profesinya baik Kepada KLIEN, pengadilan, negara atau masyarakat dan terutama kepada dirinya sendiri.”

·Pasal 3 Huruf C

“Advokat dalam menjalankan profesinya adalah bebas dan mandiri serta tidak dipengaruhi oleh siapapun dan wajib memperjuangkan hak-hak azasi manusia dalam Negara Hukum Indonesia.”

·Pasal 4 huruf H

“Advokat WAJIB MEMEGANG RAHASIA JABATAN tentang hal-hal yang diberitahukan oleh KLIEN secara kepercayaan dan wajib tetap menjaga rahasia itu setelah berakhirnya hubungan antara Advokat dan klien itu.”

·Pasal 9 Huruf A

“Setiap Advokat WAJIB tunduk dan mematuhi Kode Etik Advokat ini.”

Lihat pula Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat:

·Pasal 15

“Advokat BEBAS dalam menjalankan tugas profesinya untuk membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya dengan tetap BERPEGANG PADA KODE ETIK PROFESI dan peraturan perundang-undangan.”

·Pasal 16

“Advokat TIDAK DAPAT DITUNTUT baik secara PERDATA MAUPUN PIDANA dalam menjalankan tugasprofesinya dengan iktikad baik UNTUK KEPENTINGAN pembelaan KLIEN dalam sidang pengadilan.”

Berdasarkan ketentuan di atas, maka setiap Advokat wajib menjunjung tinggi Kode Etik. Dan karena Rahasia Klien berada dalam bagian Kode Etik, maka Advokat wajib untuk menjaganya, sekalipun Advokat mengetahui asal usul Harta Kekayaan dari Kliennya. Selain itu, Advokat juga tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan profesinya demi kepentingan Klien.

Penjelasan di atas, nampaknya memuaskan Para Advokat. TAPI, Mungkin TIDAK memuaskan bagi Pihak-pihak lain yang BUKAN ADVOKAT, statement di atas mungkin Terkesan membela dan melindungi Advokat. Penjelasan mengenai Kode Etik di atas juga terkesan “Memaksakan Diri” dan membuat Seolah-olah apa yang dilakukan Advokat itu benar.

Namun jangan lupa, bahwa di dalam UU Nomor 8 Tahun 2010 ada PENGECUALIAN terhadap Rahasia Jabatan. Mari lihat Pasal 28 UU Nomor 8 Tahun 2010: “Pelaksanaan kewajiban pelaporan oleh Pihak Pelapor dikecualikan dari ketentuan kerahasiaan yang berlaku bagi Pihak Pelapor yang bersangkutan.“

Yahhh,,, nampaknya Pasal 28 ini dapat menjadi sandungan bagi Advokat dalam melaksanakan Kode Etiknya berupa menjaga Kerahasiaan Klien. Tapi, JANGAN khawatir, Pasal 28 menyebutkan: “Pelaksanaan kewajiban pelaporan oleh PIHAK PELAPOR,…” Untuk itu, silahkan kembali melihat pada ketentuan Pasal 17 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 2010 yang menyebutkan BAHWA Advokat BUKANLAH salah satu dari Pihak Pelapor. Oleh karena itu, ketentuan Pasal 28 secara mutatis mutandis bisa dikesampingkan untuk Advokat.

ADVOKAT BUKAN KLIEN

Pernyataan bahwa Advokat yang memegang suatu perkara disamakan Kliennya nampaknya bukan semata-mata berasal dari Undang-undang. Hal ini muncul karena banyaknya Sinisme dan Ketidaksukaan beberapa orang terhadap Profesi Advokat karena dianggap Advokat itu sama dengan Kliennya. Perlu diketahui bahwa di dalam Pasa 18 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat, dikatakan bahwa: Advokat TIDAK DAPAT DIIDENTIKKAN dengan Kliennya dalam membela perkara Klien oleh pihak yang berwenang dan/atau masyarakat.”

Untuk itu, kita mungkin harus mulai menghilangkan Statement dan Pola piker yang mengatakan bahwa “Pengacara Koruptor = Koruptor” atau “Pengacara Pencucian Uang = Pelaku Pencucian Uang”. Lalu bagaimana dengan “Pengacara Terorisme” apakah dia sama dengan Teroris? Atau apakah Pengacara Korban Pelanggaran HAM juga berarti dia adalah Korban dari Pelanggaran HAM? Tentu tidak bukan?

Ada asas Equality Before the Law di mana setiap orang punya kedudukan yang sama di mata hukum, baik Koruptor sekalipun. Ada hak-hak Hukum dari mereka yang juga harus dijaga. Saya bukan pendukung Koruptor dan saya juga sangat mendukung Pemberantasan Korupsi. Tapi saya juga sangat ingin bahwa setiap proses Hukum yang terjadi di Negara dapat berjalan dengan pikiran yang sehat dan tidak sesat.

Maju terus penegakan Hukum di Indonesia. Maju terus Advokat Indonesia. “Fiat Justicia Ruat Choelumn” (sekalipun Langit Runtuh, Keadilan Harus Ditegakkan).

Baca juga:

http://hukum.kompasiana.com/2012/05/06/kpk-lembaga-superbodysuperbodong/

http://hukum.kompasiana.com/2012/05/10/kpk-vs-pencucian-uang-dan-pelanggaran-undang-undang/

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun