Mohon tunggu...
tukiman tarunasayoga
tukiman tarunasayoga Mohon Tunggu... Dosen - Pengamat Kemasyarakatan

Pengajar Pasca Sarjana Unika Soegiyopranata Semarang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Wolak-waliking Zaman

12 Mei 2021   07:32 Diperbarui: 12 Mei 2021   07:34 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Wolak-waliking Zaman

JC Tukiman Tarunasayoga

Sesuatu disebut kuwalik jika terjadi, dipakai, atau pun berposisi/berada  ora samesthine. Menimba air dan posisi embernya terbalik, nah itulah kuwalik; sama halnya pakai baju disebut kuwalik jika sing jero dadi ing jaba. Cara berpakaian Superman, -celana kecilnya yang harusnya di dalam, malah dipakai di luar celana panjangnya- , disebut nganggo-anggo sing ora samesthine, bahkan  dapat disebut juga nganeh-anehi. Beruntung sekali cara Superman berpakaian seperti itu tidak banyak ditiru secara nyata oleh warga masyarakat; dan kalau benar-benar marak, maka cara berpakaian seperti itu dapat disebut wolak-waliking zaman.

Suatu kondisi kehidupan sehari-hari (dan menyangkut segala bidang) memenuhi syarat berada dalam unen-unen wolak-waliking zaman, apabila (a) tidak wajar atau ora biasane,  namun terjadi sebagai bentuk ungkapan protes, rasa takut, atau pun justru masa bodoh;  (b) ada/sedang terjadi sesuatu yang ternyata aneh, janggal, diam-diam, atau dalam tekanan (c) memang sudah sampai waktunya terjadi, bagaikan bom waktu tinggal beberapa saat lagi akan meletus; dan (d) sedang terjadi silent minority akibat dari adanya kebijakan yang tidak populis.

Ada contoh sedang terjadi dan sangat menarik, rasanya memenuhi syarat unen-unen wolak-waliking zaman; lebih-lebih di dalam kondisi yang serba sulit seperti sekarang ini, ada ratusan orang berpotensi dan memenuhi syarat menduduki jabatan eselon II, "ramai-ramai" menolak. Ini benar-benar aneh, ora biasane, bahkan dapat disebut tidak masuk akal bagi kebanyakan ASN yang pada umumnya pasti bercita-cita menduduki jabatan setinggi mungkin. Tujuh belas (17) posisi eselon II sangatlah wajar sebetulnya apabila "diperebutkan" oleh lebih dari dua ratus orang (tepatnya 239). Lihat saja di peluang CPNS, dua atau tiga saja calon dibutuhkan (karena formasinya memang hanya membutuhkan sejumlah tiga misalnya), berapa ratus pelamar, bahkan dapat ribuan jumlah pelamarnya.

Tujuh belas kursi "empuk" eselon II di depan mata (ingat, betapa sangat sedikitnya jumlah kursi eselon II dibandingkan dengan ribuan ASN yang ada), tidak dilihat sebagai kursi empuk lagi, bahkan mungkin kursi amat panas. Ini tidak mungkin dan tidak biasa terjadi, kecuali karena memang sudah sampai waktunya (wayahe.......wayahe........) ada wolak-waliking zaman. Seperti diketahui, gaji pokok eselon II  berkisar antara Rp 3.044.300,- hingga Rp 5.901.200,-; masing-masing sesuai golongannya akan menerima TKD (tunjangan kinerja daerah) dalam kisaran antara Rp 51.570.000,- sampai 63.450.000,-; berikut tunjangan suami/istri dan tunjangan anak, dan tunjangan makan.  Di zaman sulit seperti ini, ada posisi bagus dengan berbagai tunjangan tinggi/besar sesuai dengan peraturannya, namun direspons secara dingin oleh ratusan ASN non-administrator, padahal sudah diinstruksikan oleh pimpinan agar bersedia melamar;  komplitlah fakta sosial yang sangat-sangat menarik untuk digali penyebabnya.  

Wolak-waliking zaman seperti ini, rasanya sangat penting untuk diteropong lewat lensa budaya, khususnya dalam konteks penerapan aspek pola hubungan atasan -- bawahan. Tinjauan akademiknya dapat, misalnya, lewat teori Struktur Karakteristik Sosial (SKS). Ada empat kata kunci SKS itu; pertama, hubungan atasan -- bawahan dapat sangat dipengaruhi oleh struktur komunikasi yang otomatis memilah secara budaya,  sehingga ada orang-orang yang selalu menjadi pusat komunikasi, ada orang-orang yang berada dalam garis pinggir (pinggiran), dan orang-orang yang bahkan terisolasi. Nah, 239 orang yang dipandang memenuhi syarat (administrative) untuk melamar eselon II termasuk struktur komunikasi yang mana?

Kedua, pola hubungan atasan -- bawahan dapat sangat dipengaruhi oleh struktur sosiometrik, yakni pola hubungan senang dan tidak senang secara alamiah. Harus kita ingat, like-dislike dalam tatanan kemasyarakatan (termasuk di birokrasi lho!!) terjadi sangat alamiah dan tidak dapat dipaksanakan untuk tidak terjadi. Apakah 239 ASN itu saat ini sedang berada dalam struktur dislike? Dapat diamati lebih lanjut kalau mau. Ketiga, struktur kekuasaan; artinya segala sesuatu pola relasi atasan -- bawahan sangat tertumpu dan semata-mata berdasarkan kekuasaan belaka. Apakah struktur kekuasaan seperti ini yang selama ini terjadi sehingga muncul silent minority?

Dan keempat. pola hubungan atasan -- bawahan sangat mungkin dipengaruhi oleh struktur lokomosi. yaitu mobilitas sosial. Struktur lokomosi dapat dilihat dari apakah kerja pimpinan atau pun bawahan itu cekatan, trengginas, penuh semangat; ataukah leda-lede, waton klakon, lembek dan serba tanggung. Tegasnya, struktur lokomosi menggambarkan seberapa tinggi atau rendahnya mobilitas pimpinan dalam memimpin, dan mobilitas bawahan dalam melaksanakan pekerjaan yang dimandatkan oleh pimpinan.

Simpulannya, apa yang sedang terjadi di DKI ini, menurut pendapat saya, harus diselesaikan antara lain lewat penerapan teori SKS tadi, struktur karakteristik sosial, dan tidak mungkin dalam waktu dekat ada pemaksaan-pemaksaan sehingga akhirnya posisi 17 kursi eselon II terisi. Sebaiknya jangan ada pemaksaan, sebab lagi tekan wayahe terjadi wolak-waliking zaman.

-0-

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun