Mohon tunggu...
tukiman tarunasayoga
tukiman tarunasayoga Mohon Tunggu... Dosen - Pengamat Kemasyarakatan

Pengajar Pasca Sarjana Unika Soegiyopranata Semarang

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Menghadapi "Pendhita Endhog"

21 April 2021   06:02 Diperbarui: 21 April 2021   06:08 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Menghadapi "Pendhita Endhog"

JC Tukiman Tarunasayoga

            Dalam dua minggu terakhir ini, katakanlah,  sedang berlangsung (dan utamanya sedang "laku keras") gaya bertutur serba sok. Barangsiapa punya modal untuk bertutur serba sok, dia pula yang dicari atau dirujuk untuk sekurang-kurangnya dapat menjadi bahan pemberitaan dan pembicaraan nan ramai. Di antara yang serba sok itu adalah gaya bertutur sok tahu, sok pinter, sok ngatur, dan sok suci.

            Kata "sok" dalam wacana bahasa Indonesia  berarti kaos kaki panjang, atau penyambung pipa besi;  dan kalau ditulis menjadi "syok" artinya (a) sangat menarik hati, indah sekali; (b) sangat tertarik hatinya, sangat suka akan ...... dan (c)  berlagak kaya, tahu, dan sebagainya. Dalam percakapan sehari-hari, -berikut penulisannya- , "syok" berubah menjadi "sok" dan makna berlagak lebih sering dipakai atau dimaksudkan. Maka kalau di atas dikatakan sedang laku gaya bertutur sok tahu, ya maksudnya memang saat ini sedang "bergemuruh" orang-orang yang berlagak tahu, misalnya perihal Si Badu akan menjadi menteri ini, sementara si Dadap dicopot, dan seterusnya, dan sebagainya.

            Tidak jauh beda dari bergaya tahu, sok pinter, dalam arti bergaya pinter juga sedang ngetrend akhir-akhir ini, bahkan sangat sering bergaya pinter ini terkait langsung dengan sok ngatur, bergaya (pinter) ngatur, misalnya perihal mudik Lebaran, komposisi kabinet, termasuk siapa saja tokoh-tokoh yang di-skenario-kan. Saking semangatnya  berwacana model sok tahu, sok pinter, sok ngatur; ada saja orang yang lupa akan dirinya yang senyatanya bukan siapa-siapa dalam konteks yang sedang diwacanakan itu. Dan kalau didhedhes (dikorek dalam-dalam), misalnya dengan pertanyaan: Siapa sih dirimu itu; sangat boleh jadi akan ada jawaban: "Masakan tidak boleh usul atau berpendapat?" Boleh saja, nanging mbok ora nggriseni.

            Sangat menarik di minggu terakhir ini, yakni secara tiba-tiba muncul "pendhita endhog" nan menghebohkan. Ia bukan saja bergaya sok, tetapi juga ngaku-aku, mendaku bahwa dirinya punya jabatan ini dan ahli itu, serta  telah melakukan anu berikut  menghasilkan inu, dan lain sebagainya. Dari omongannya saja, orang seperti ini mesthi ngapusi, dia hanya cari sensasi, bahkan secara kasar harus dikatakan jan-jane mung wong golek dhuwit  karena "jualannya selama ini ora payu." Dia (JPZ)  itu termasuk "bocah wingi sore" dalam konteks keilmuan entah theologi entah pula Eksegese; dan salahsatu cara mau "pansos" yang ditempuhnya lewat menghina pihak lain. Inilah pendhita endhog.

            Pendhita endhog adalah sebuah paribasan, yakni peribahasa Jawa yang melukiskan betapa orang yang baru saja "lulus" dari sekolahnya, merasa paling pinter, paling tahu, paling hebat; dan yang menyedihkan ialah sok sumuci-suci. Inilah arti paribasan pendhita endhog, sok sumuci-suci, merasa dan bergaya paling suci karena merasa paling tahu ilmunya; orang lain siapa pun itu "kalah karo aku."

            Cara terbaik menghadapi pendhita endhog semacam itu sebenarnya gampang, yakni "wis ta, dinengke wae rak mingkem." Semakin ditanggapi, semakin seneng dia dan merasa pansosnya sukses. Cara yang lain, ialah digawe kawus, yakni dihadapi secara fisik dan diajak adu argument. Pasti dia akan ngacir karena jan-jane ngelmune cethek, ilmunya itu belum landhep,  cuma  mulutnya saja yang tajam. Lagi-lagi, biar jualannya laku; atau jangan-jangan ia pengin pulang ke tanah air secara gratis karena telah kehabisan amunisi.

            Namun memang mulut yang setrocoh itu harus dibungkam; dan silahkan saja pihak penegak hukum bertindak terhadap pendhita endhog ini, karena tidak ada satu pihak pun diuntungkannya, sementara yang dirugikannya amat banyak.  Dalam ranah keluarga sering ada unen-unen "Ilang-ilangan ndhog siji," karena memang dadi klilip berhubung sok sumuci-suci.

-0-

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun