Mohon tunggu...
tukiman tarunasayoga
tukiman tarunasayoga Mohon Tunggu... Dosen - Pengamat Kemasyarakatan

Pengajar Pasca Sarjana Unika Soegiyopranata Semarang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Apa Salahnya, Melik Gendhong Lali?

8 April 2021   13:14 Diperbarui: 8 April 2021   13:16 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Apa Salahnya, Melik Gendhong Lali?

JC Tukiman Tarunasayoga

            Jagad pergaulan sosial zaman now memang serba cepat, serba terus terang, dan serba sindir; sebutlah serba CTS. Serba C diukur dari tingkat ketersebarannya; sedangkan  T diukur dari kejelasan isu atau permasalahannya terkuak; dan S diukur dari banyaknya nyinyiran beserta trending-nya isu itu. Detik ini ada isu ngraman (Jawa, artinya mau merebut "kekuasaan")  dilakukan oleh M kepada L, detik-detik berikutnya isu itu tersebar serba CTS. Pagi ini ada kasak-kusuk seorang akademisi tokoh badan usaha digugat seseorang; hari ini pula sudah muncul profil si penggugat dan tergugat dengan berbagai versi serba CTS-nya.

            Ada sekurangnya dua pertanyaan terkait hal ini; pertama, berapa lama isu atau topik  serba CTS itu bertahan sebagai suguhan dalam pergaulan sosial? Saya memberanikan diri menjawab, paling lama dua bulan; itu pun pasti diselingi munculnya isu atau topik lainnya. Dan pertanyaan kedua, sapa sing salah (siapa bersalah?) dalam hal ini: Si M atau si L; si penggugat atau si tergugat?  Jawaban atas pertanyaan kedua ini ada pada idiom Melik ngGendhong Lali ini. Intinya  terletak pada (a) siapa sebenarnya paling ingin, yaitu kepingin banget; dan (b) siapa pula yang lupa.

            Bacalah melik seperti Anda mengucapkan  tenda merah diambil maling; dan hendaknya jangan dibaca sebagaimana Anda mengucapkan bilik itu milik Bu Titik. Harap Anda ketahui, antara melik dan milik sangat berbeda jauh maknanya. Melik berarti kepingin darbeni (ingin sekali memiliki), atau juga kepingin banget arep ngepek (nafsu banget ingin memperolehnya). Sebagai idiom, Melik nggendhong lali, arti lurusnya,  siapa pun yang nafsu banget kepingin, ia cenderung lupa diri' sedang makna berikut ajarannya ialah: "Wani nindakake kang dudu samesthine;"  berbuat yang tidak seharusnya dilakukan. Artinya ia nekad. Mengapa nekad? Ia lupa saking nafsunya,  yaitu lupa diri, lupa pangkat dan kedudukannya, lupa memperhitungkan dampak yang akan terjadi, dan lupa lainnya lagi.

            Jadi, kata kuncinya  ada pada hasrat/keinginan tak terkendali dan lupa. Ternyata dua kata kunci ini dapat melanda siapa pun. Orang sipil dapat "terserang," orang non sipil dapat "terjangkiti;" usia renta mungkin saja nekad karena lupa, orang muda pasti dapat juga mengalaminya.

Setelah kejadian "nekad" itu, barulah semua pihak tersadar dan menganalisis, misalnya: "Apa sih kurangnya seorang guru besar, atau pun seorang jendral dan berkedudukan pula? Mengapa orang sekelas itu bisa lupa? Apa yang salah dalam konstruksi bangunan sosial kita sampai-sampai orang sekelas itu berbuat  nekad? Mengapa pula seorang kakek renta tega-teganya menyabuli anak kecil yang semestinya cucu atau bahkan cicitnya? Dst. dst. Berbagai pertanyaan atau analisis itu pasti terurai serba CTS.

Melik nggendhong lali, -sekali lagi- , dapat melanda siapa pun, dan dalam kondisi serba CTS tidak akan juga mengurangi jumlah orang yang berniat melakukannya. Mengapa? Orang semakin terdorong oleh rasa kepingin banget, dengan kata lain bernafsu, karena kehidupan sosial ini semakin tidak ada sekat apa pun, semakin tidak ada rahasia apa pun, dan orang semakin "enak/nyaman"  bahkan mau  berkata atau berbuat apa pun. Batas-batas soaial semakin "hilang," seolah ada anggapan (umum?) apabila jalan-jalan biasa sulit ditempuh, yahhhhh lewat jalan terabas atau nekad sajalah.  Apa salahnya melik gendhong lali?

Sudah separah itukah kondisi saat ini? Saya cenderung menyebutnya barulah  gejala-gejala, namun jika tidak segera ada gerakan melawannya, gejala itu mungkin saja akan semakin merebak. Salahsatu gerakan sosial yang dapat kita lakukan ialah merevitalisasi idiom Sadumuk bathuk sanyari bumi. Minggu depan kita bahas.

-0-

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun