Mohon tunggu...
tukiman tarunasayoga
tukiman tarunasayoga Mohon Tunggu... Dosen - Pengamat Kemasyarakatan

Pengajar Pasca Sarjana Unika Soegiyopranata Semarang

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Banjir dan "Lebak Ilining Banyu"

10 Februari 2021   08:17 Diperbarui: 10 Februari 2021   08:34 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Judul tulisan ini semoga tidak menjebak atau memberi kesan kepada Anda, seolah-olah akan membahas banjir dengan segala teori dan kajiannya. Bukan! Saya hanya tahu bahwa banjir itu, -itu pun membuka kamus- , ada beberapa pengertian/maknanya, yakni (a) berair banyak dan deras, kadang-kadang meluap; air bah, dan (b) arti kiasan yaitu datang atau ada banyak sekali. Kalau saat ini disebutkan sejumlah daerah sedang terlanda banjir, itu artinya daerah itu sedang berair banyak dan deras, bahkan meluap karena air bah. Memang ada orang dengan lantang bertanya: "Jakarta itu banjir atau kebanjiran?" Saya sih menjawab dua-duanya, karena di samping sedang berair banyak; Jakarta juga sedang kebanjiran, yaitu  terendam air karena banjir atau bahkan sedang diserang banjir. 

Mengapa Jakarta yang selalu disebut-sebut ketika berbicara tentang banjir atau pun kebanjiran padahal daerah lain mungkin tidak kalah serunya dibandingkan dengan Jakarta? Ya itulah yang namanya "nasib" dan sertamerta jawaban atas pertanyaan: "Siapa suruh datang ke Jakarta?" (kalau gakmau kebanjiran, he...he..he....). Ada alasan topografis peninggalan nenek moyang sekaitan dengan betapa Jakarta itu "sejarahnya" memang tempat banyak air. Lihat saja nama-nama tempat yang berawal dengan Rawa: Ada Rawa Mangun, Rawa Badak, Rawa Bebek, dan rawa lainnya. Ada juga berawal dengan situ serta lebak. Nah, rawa, situ, lebak; semua itu  menggambarkan betapa tempat-tempat itu "sejak dari sononya" memang akrab dengan air, berair serta rendah.

Lebak itu ialah lembah, atau tanah (datar) yang rendah; sehingga sangat wajar kalau ke sanalah air menuju, mengingat air selalu mengalir ke tempat yang lebih rendah.

Fakta seperti inilah yang diangkat menjadi peribahasa (bahasa Jawanya paribasan) Lebak ilining banyu, sebab memang, -sekali lagi- , ke tempat rendahlah (lebak) air pasti akan mengalir. Sebuah keniscayaan; dan tidak seorang pun dapat membantah betapa Jakarta itu rendah karena terbukti setiap tahunnya menjadi langganan banjir dan kebanjiran. Maaf seribu maaf, lagi-lagi Jakarta, lagi-lagi Jakarta.

Sebagai paribasan, lebak ilining banyu mempunyai makna faktual dan general, yakni bila terjadi suatu kesalahan, pihak bawahanlah yang umumnya (selalu?) disalahkan atau disebutkan sebagai  biang salahnya. Bukan atasan, malahan nyaris tidak pernah atasan itu salah. Dalam skala rumahtangga, kesalahan atau tragisnya pihak yang  selalu disalahkan adalah dia yang terlamah posisinya; mungkin pembantu atau asisten rumahtangga, mungkin juga anak (kecil) atau entahlah siapa.

Dalam skala tempat kerja (kantor misalnya), biang salah pasti ada di pihak "orang kecil" yang ada di situ. Begitu seterusnya,  contoh dapat dikembangkan lebih lanjut; namun intinya lebak ilining banyu menggambarkan sekurangnya dua hal.

Pertama, fakta sehari-hari kehidupan dalam masyarakat seperti itulah; yakni selalu saja ada pihak yang dijadikan tumpuan kesalahan, yakni bawahan. Dan kedua, ada nuansa ketidakadilan structural akan tetapi nyaris tidak mungkin dapat diatasi dan harus diterima saja sebagai "nasib," seperti Jakarta yang selalu banjir dan kebanjiran itu.

Ada sejumlah pihak, terdorong oleh sempitnya sudut pandang dalam memaknai lebak ilining banyu, lalu berpendapat: Kalau tidak mau dipersalahkan, ya janganlah mau menjadi bawahan, kejarlah dan raihlah kursi menjadi pimpinan. Apa yang terjadi atas pandangan kurang tepat itu? Sejumlah pihak "berkejaran" bahkan terjadi "saling sikut dan sikat"  dalam rangka merebut kursi pimpinan. Bila terjadi semacam itu, ini pasti salah kedaden, salah memaknai suatu ajaran yang terbungkus dalam paribasan.

Lebak ilining banyu, yakni kecenderungan menyalahkan bawahan memang tidaklah mudah dihilangkan atau diganti dengan kata-kata: "Kalau bawahan keliru, atasanlah yang salah." Mengapa tidak mudah hilang atau diganti dengan kata-kata indah seperti itu sekali pun? Secara budaya, ada spiritualitas luhur tentang makna hamba (abdi) dalam konteks hubungan raja dan kawula (hamba). Bahasa sehari-hari dan bahkan menjadi kata-kata mutiara hamba ialah "nyuwun sewu, sendika dhawuh, dan nyadhong duka." Sebagai sebuah spiritualitas, tiga kata mutiara ini bagus dalam arti menempatkan posisinya sebagai pihak yang memang harus melayani, dan oleh karena itu selalu harus siap dengan . nyuwun sewu, sendika dhawuh lan nyadhong duka." Bukankah kata-kata itu menjadi indah ketika bertransformasi menjadi: Maaf, terimakasih, dan mari kita lanjutkan? Transformasi semacam itulah yang harus menjadi ciri orang atasan dewasa ini.     

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun