Mohon tunggu...
tukiman tarunasayoga
tukiman tarunasayoga Mohon Tunggu... Dosen - Pengamat Kemasyarakatan

Pengajar Pasca Sarjana Unika Soegiyopranata Semarang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Narasi Berlebih "Mirong Kampuh Jingga"

17 September 2020   08:18 Diperbarui: 17 September 2020   08:22 571
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Narasi Berlebih "Mirong Kampuh Jingga"

Oleh: Tukiman Tarunasayoga

Dalam membahananya dunia medsos saat ini,  kemampuan bernarasi  terbukti mengandung  "magma besar tersembunyi," dan jika tidak diwaspadai secara seksama, dapat menjadi pemicu serta kekuatan eksplosif  berbahaya. Sedang berkembang yang disebut (cara) bernarasi berlebih saat ini, melampaui fakta; dan karena itu selumbar tiba-tiba bisa berubah menjadi gajah. Apabila tidak sertamerta dilakukan cross-double-check, akselerasi medsos dapat semakin membengkakkan gajah yang memang  sudah bengkak itu.

Bayangkan saja, misal ada fakta pertikaian pribadi antar dua orang, -sebutlah kebetulan yang satu seorang tokoh di suatu wilayah- ,  dan pertikaian itu membawaserta jatuh korban di pihak tokoh tadi; sebuah narasi berlebih segera berseliweran seolah-olah fakta itu sebuah skenario besar untuk mendeskreditkan ketokohan orang itu. Mungkin tidak berhenti di situ saja.

Misalnya lalu ada pihak-pihak yang menambahkan (tanpa cross-double-check) betapa si "penyeerang" tokoh tadi punya afiliasi dengan bla....bla.....bla. Tegasnya, mari waspada dan sejak awal membaca sebuah narasi, sejak itu pula setiap orang sebaiknya bergumam dalam hatinya: "Jangan langsung seratus persen memercayai narasi itu sebagai kebenaran."

"Tidak mudah dan begitu saja memercayai narasi medsos" rasanya harus menjadi sikap bijak baru, bahkan kalau perlu menjadi kata-kata bijak baru mengingat,  siapa pun ada kecenderungan melebih-lebihkan apa pun. 

Misal saja nih, di wajahku ada jerawat kecil, lalu setiap kali aku pegang. Teman yang melihat langsung menegur, jangan sering dipegang-pegang karena merangsang untuk menjadikannya kanker kulit tuh. 

Dari kata-kata itu saja, narasi berlebih segera dapat berkembang ngalor-ngidul; dan jika narasi itu di-medsos-kan segera merebaklah  dan seolah-olah lalu ada  pengetahuan umum baru,  bahwa jerawat dapat menjadi pemicu kanker kulit. Nah....... orang-orang berjerawat, -jika tidak melakukan cross-double-check- , segera terpengaruh dan entah apalah yang kemudian akan dilakukannya.

Perihal "mirong kampuh jingga" pun demikian, yaitu banyak narasi berlebih dan kalau tidak dilakukan cek ulang berlapis, tergambarkan seolah-olah negeri kita ini tidak aman karena ada saja kelompok yang mau "ngraman."  Makna mirong kampuh jingga itu setara dengan ngraman tadi, yaitu sumedya balela, ingin melawan pemerintahan sah dengan cara seolah-olah ada kekuatan besar di luar sana yang siap tempur. 

Mirong (dan juga wirong) itu artinya sedih bercampur malu; jadi kalau dikatakan seseorang tampak mirong-mirong itu artinya orang itu wajahnya menunjukkan kesedihan karena (campur) malu, dan rona wajahnya kemerah-merahan (jingga). Sedangkan kampuh itu artinya kalah, kasoran; nah ........mirong kampuh jingga arti lurusnya ialah orang yang wajahnya kemerah-merahan karena malu dan kalah.

Namun, sebagai idiom, mirong kampuh jingga justru dipakai untuk menjelaskan sisi sebaliknya dari wajah yang kemerah-merahan itu, yaitu orang yang marah seraya malu itu cenderung  akan menyerang atau memberontak kepada pihak yang membuatnya kalah dan malu (mempermalukan). Narasi berlebih tentang kelompok-kelompok seperti ini sering mendapat amunisi baru manakala ada kejadian-kejadian selumbar  yang kemudian dinarasikan sebagai gajah tadi.

Siapa pihak-pihak pembuat narasi berlebih tentang mirong kampuh jingga? Siapa saja, dan kalau membuat axisnya kanan kiri, baik pihak yang kanan akan (dan pasti) membuat narasi berlebih tentang pihaknya, maupun pihak yang di kiri, -apalagi terpancing- , juga akan bernarasi secara berlebih.

Apa tujuan utamanya membuat narasi berlebih? Ada beberapa tujuan, antara lain, satu,  upaya terbalik untuk membesarkan atau melambungkan nama diri atau kelompoknya; misalkan bernarasi berlebih betapa kelompoknya siap menghadapi segala kemungkinan pelemahan dari pihak mana pun. Apakah berarti kelompok itu memang hebat? Biasanya justru sebaliknya. Ingat saja tong kosong lalu dipukul-pukul; nyaring kan?

Dua, bernarasi berlebih dipakai sebagai strategi agar muncul kesadaran kolektif tentang pentingnya menjaga keamanan bersama misalnya, maka narasinya lalu menyebutkan ada kelompok tertentu yang berniat mirong kampuh jingga. Apakah memang kesadaran kolektif yang diharapkan itu sertamerta muncul? 

Tidak juga. Jangankan kesadaran tentang keamanan bersama, tentang kesadaran diri sendiri untuk melindungi diri dari virus Corona lewat memakai masker ke mana pun, masih menyisakan ketidaksadaran pribadi di mana-mana. Ingat ada Pemda yang akan memberi sanksi masuk peti mati bagi mereka yang tidak taat memakai masker? Berhasilkah?

Dan tiga, narasi berlebih tentang adanya bahaya mirong kampuh jingga   bertujuan untuk iseng-iseng berhadiah, test the water, kalau-kalau nanti menangguk keuntungan. Harap semua pihak melihat secara jeli betapa medsos sering kali dijadikan alat ampuh untuk iseng-iseng berhadiah itu. Kalau sebuah riak karena di-medsos-kan lalu berubah menjadi gelombang, viral lagi, nah ......itulah yang menjadi tujuannya. Adakah keuntungan materiil? Mungkin tidak ada, namun "nama besar" akan diperolehnya.

Jadi, mirong kampuh jingga itu sebenarnya tidak ada/terjadi, karena itu jangan panic ketika ada pihak-pihak membuat narasi berlebih seolah-olah hal itu akan terjadi. Aparat keamanan kita sudah sangat canggih mendeteksi apa yang sedang dan akan terjadi. Percayakan saja kepada aparat.

-0-

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun