Mohon tunggu...
Rena
Rena Mohon Tunggu... Freelancer - nama asli

pecinta proses dan perjalanan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Gagasan Nihil dan Peran Kebergunaan

14 Juli 2017   02:50 Diperbarui: 14 Juli 2017   03:03 493
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dimana saya berada, diantara manusia-manusia, di dunia saya yang tidak menjadi dunia mereka. Di dunia sempit saat kemanusiaan hilang hakikat kemanusiawian nya karena dipaksa membebaskan diri menjadi Tuhan bagi segala tindakan yang tidak pernah absen konsekuensi.

Disanalah saya berada, setiap kali saya ditemani secangkir kopi yang sudah tidak hangat lagi, di depan seperangkat alat tulis digital yang di sebut laptop, terpisah dari dunia-dunia kemanusiaan yang dibawa oleh gagasan masing-masing individu sekitar saya. Kemanusiaan sangat tersegregasi. Hemat saya, ini merupakan dampak dari kehidupan yang begitu kompleks. Ketika kita hidup, bukan mempermasalahkan melulu mengenai hal ekonomi, kesejahtraan, image, gender, kelayakan, hak asasi. 

Namun, bagi saya, yang di junjung tinggi dari klasifikasi masalah-masalah kemanusiaan tersebut, yang paling solid adalah pengembangan diri. Dan yang pertanyaannya adalah sejauh mana diri kita berkembang. Sejauh mana kita memikirkan pengembangan diri orang lain yang kurang berkembang, dan apakah kita melakukan suatu upaya agar mereka pun berkembang.Lantas apa batas akhir dari pengembangan diri? Apakah kebahagaiaan, kebergunaan, peran seseorang dimata sosial?

Saya rasa, batas pengembangan diri ini lah yang menjadi tujuan hidup, harapan, asa dan cita-cita. Entah benar atau patut dipersalahkan, dari sini saya mengambil kesimpulan yang bagi saya terdengar agak dangkal dan pragmatis. Bahwasannya tujuan manusia itu sama : kebahagiaan. Dan kebahagiaan ini, bentuknya sangat berbeda-beda.

Jika saja saya sudah merasa bahagia dan saya rasa sudah cukup hidup ini ceritanya, apakah pantas mereka mengklaim saya sebagai orang yang menyedihkan? Jika sudah berpikiran seperti ini, saya selalu kembali membuka buku-buku kemanusiaan, dimana hakikat menjadi manusia terletak posisi solidnya dalam ranah hubungan sosial, peran kebergunaan. Selama kita hidup, manusialah yang menilai. Jadi kita hidup itu sebenarnya untuk manusia, dan oleh karena itu, kita harus menjadi manusia lebih dulu.

Dalam hal menjadi manusia ini yang memicu banyak perdebatan. Alat utamanya, sudah pasti bagi hampir keseluruhan orang, adalah pendidikan, baik formal, maupun tidak formal. Apakah pendidikan ini benar-benar membuat manusia menjadi manusia dan untuk manusia? Pendidikan yang katanya harus membebaskan. 

Dan dari kebebasan itu kita bisa memilih tanpa tekanan dan paksaan mengenai apa yang harus kita lakukan, dan jalan mana saja yang harus kita tempuh, namun tetap saja parameternya kebergunaan.Parameter kebergunaan ini selalu menjengahkan. Yaitu, atribut apa yang akan tertulis di batu nisan? Atau cerita apa yang akan di ucapkan dari mulut manusia-manusia yang kita tinggalkan saat kita mati. Kebaikan dan keburukan kita ditentukan oleh mereka. Bahkan Tuhan tidak ikut campur, atau repot-repot mengoreksi cerita yang bisa jadi sangat tidak valid, namun selalu berhasil di validkan oleh akal manusia.

Disini saya akan terkesan menyalahkan perangkat pengetahuan pada manusia, yang bagi saya, semu. Sangat bergantung pada rangkaian pembuktian yang membutuhkan riset bertahun-tahun. Hasil riset yang juga berkompetisi satu sama lain, dimana gagasan-gagasan berusaha menjadi yang paling valid. Ini merupakan kelebihan manusia yang juga menjadi kelemahan manusia. Kelebihan, karena ini yang menjadikan manusia menganggap dirinya mulia. Kelemahan, karena ironisnya, ini yang menimbulkan perpecahan dan kerusakan dimuka bumi.

Semua itu memang begitu adanya. Akan terdengar sia-sia bagi saya untuk untuk diperdebatkan diranah substansial saja. Meskipun keseluruhan tulisan ini sebenarnya berputar-putar diranah substansi kemanusiaan yang terasa amat tandus dan kerontang bagi saya. Hingga saya pada akhirnya memilih dan memutuskan untuk selalu bicara dampak di ranah sosial, kebergunaan. Karena hidup ini adalah upaya pembuktian gagasan yang valid dan yang tidak valid. Yang mana yang paling kuat dijadikan landasan teknis penyelesaian masalah-masalah manusia itu sendiri.

Saat saya membuka buku solusi kemanusiaan berupa ilmu yang memberi tahu kita mengenai perkembangan peradaban dan pemikiran manusia, terjawablah sudah semua tanda tanya yang mengakhiri kalimat gagasan nihilism. Mungkin, Cuma mungkin, kemanusiaan yang tandus dan kerontang itu sudah jelas mawujud di kepala para pakar nihilism, yang lebih senang seolah-olah meniadakan kehidupan beserta semua hukum, dan nilai-nilai di dalamnya (hemat saya). 

Namun tetap saja, semua perangkat pengetahuan berupa indra dan akal dalam diri saya ini menegasi konsep kenihilan. Setelah berjam-jam, yang mana bisa  saya bilang merupakan waktu yang terlalu amat singkat, akhirnya saya sadar, betapa semua entitas keberadaan saya  yang ditiadakan di konsep nihil tersebut, perannya terlalu kentara. Sehingga sulit untuk bicara nihil. Semuanya terlalu jelas, hingga membuat semua fenomena rasanya sangat sentimental.

Dan begitulah perihal hidup, bicara tentang keberadaan berlandaskan kebergunaan. Tentang keberadaan berlandaskan ketiadaan yang di hapuskan dan sulit diakui, atau sebaliknya, ketiadaan yang berlandaskan keberadaan, kebergunaan yang terlalu relatif. Sehingga semuanya kabur, dan sulit untuk di klasifikasikan, sehingga menyulitkan kedamaian untuk tercapai, baik kedamaian masing-masing individu, atau masing-masing kelompok yang menjadi cerita bumi manusia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun