Suatu sore yang biasa saja, anak saya yang duduk di kelas dua sekolah dasar tiba-tiba datang dengan wajah agak murung. Kami sedang duduk santai di ruang tamu saat ia melemparkan pertanyaan yang tak biasa:
"Ayah, tadi ada temanku yang bilang ke temanku yang lain, 'kamu itu miskin. Lihatlah baju lusuh'. Emang miskin itu kayak apa, yah?"
Saya terdiam sejenak. Di usia semuda itu, ia sudah mulai bersentuhan dengan realitas sosial yang sering kali lebih keras dari apa yang bisa dibayangkan anak-anak.
Kalimat temannya tadi jelas bukan sekadar olok-olok polos. Di baliknya, ada nilai yang diwariskan---mungkin dari rumah, mungkin dari media, mungkin juga dari lingkungan yang tak sadar telah menanamkan: bahwa apa yang tampak di luar adalah segalanya.
Saya menjawab dengan lembut, mencoba tidak menggurui, "Nak, jangan pernah bilang begitu pada siapa pun. Tidak ada yang benar-benar miskin atau kaya hanya dari apa yang terlihat. Miskin atau kaya bukan soal baju, makanan, atau seberapa banyak harta yang dia punya. Kaya itu seikhlas apa seseorang memberi, dan sebesar apa dia bersyukur atas apa yang dia miliki."
Ia terdiam. Rautnya tampak seolah berpikir. Dan saya pun ikut terdiam---merenungkan apa yang baru saya katakan, yang mungkin lebih ditujukan juga untuk diri saya sendiri.
Warisan yang Tidak Kita Sadari
Sebagian dari kita mungkin tak pernah secara sengaja mengajarkan anak untuk membeda-bedakan orang dari baju atau harta. Tapi dunia ini---dengan segala iklan, layar, perbincangan meja makan, unggahan media sosial---sering kali mengajarkan hal itu secara diam-diam.
Kita mungkin tidak mengatakan "harta adalah segalanya", tapi anak kita melihat betapa kita membanggakan kesuksesan materi, dan mengeluh saat tidak punya cukup.
Anak-anak, seperti spons, menyerap semuanya: kata-kata, nada, reaksi, bahkan ekspresi diam kita. Mereka belajar bukan hanya dari apa yang kita ucapkan, tetapi dari apa yang kita agungkan, dan apa yang kita takutkan.