Di ruang-ruang rapat banyak perusahaan, satu isu klasik tak pernah benar-benar tuntas: gesekan antara HRD dan user. Kadang halus, kadang meledak. Mulai dari rekrutmen yang dinilai lambat, promosi yang tak disepakati, sampai penilaian kinerja yang saling bertolak belakang.
Padahal, keduanya mengklaim bekerja demi kepentingan perusahaan. HRD menyusun sistem, kebijakan, dan regulasi yang objektif dan adil. User beralasan mereka yang paling tahu kondisi riil di lapangan. Tapi justru di sanalah benih konflik tumbuh: dua kebenaran yang tidak disatukan dalam visi bersama.
Pertanyaannya: apa sebenarnya akar benturan ini, dan bagaimana seharusnya ia diatasi?
Di Balik "Bentrok" yang Nyata: Sebuah Ketidaksinambungan Peran
Mari kita mulai dari dasar. Dalam idealnya, HRD adalah arsitek sistem manusia, pembentuk kerangka organisasi, penjamin objektivitas, dan pengawal nilai-nilai perusahaan. Di sisi lain, user---yakni manajer atau kepala divisi---adalah pelaksana harian, pemimpin langsung yang tahu pasti siapa yang kerja, siapa yang tidak, siapa yang butuh bantuan, siapa yang layak naik.
Namun dalam praktiknya, dua peran ini sering tidak berjalan beriringan. User menganggap HRD terlalu prosedural, kurang responsif, bahkan tidak mengerti tekanan di lapangan. Sebaliknya, HRD memandang user tidak disiplin, terlalu pragmatis, dan kadang subjektif.
Situasi ini sering kali bukan soal pribadi atau ego, melainkan karena sistem organisasi yang tidak menjembatani dua perspektif ini secara utuh.
Ketidakjelasan Sistem: Dari Prosedur hingga Harapan
Banyak konflik HRD vs user sebenarnya lahir dari ketidakjelasan sistem dan ekspektasi. Misalnya:
Job description dan job specification tidak disusun bersama, sehingga HRD tidak tahu kebutuhan spesifik user, dan user merasa HRD "asal pilih orang".