Mohon tunggu...
Tuhombowo Wau
Tuhombowo Wau Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

tuho.sakti@yahoo.co.uk

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Sulaplah Gedung Sekolah Nganggur Itu Jadi Rumah Sakit Darurat

26 Januari 2021   07:58 Diperbarui: 26 Januari 2021   16:12 644
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gedung-gedung sekolah sunyi tanpa penghuni selama pandemi Covid-19 | Foto: Bisnis.com

Sejak 2 Maret 2020, Indonesia "resmi" dilanda pandemi Covid-19. Artinya, sampai sekarang sudah berjalan lebih dari sepuluh bulan. Jumlah korban terpapar cukup banyak, dan mungkin akan semakin banyak.

Kasus positif hari ini, Selasa (26/1/2021) ternyata sudah mencapai 1.012.350, terjadi penambahan sebanyak 13.094 kasus, di mana kemarin masih 999.256 kasus.

Entah sampai kapan pandemi berakhir, yang pasti hikmah kehidupan yang "ditawarkannya" tidak boleh kita abaikan. Pandemi mengajarkan kita untuk tetap bersyukur, menghargai kesehatan, serta memaksa agar bertindak inovatif dan kreatif.

Dua poin terakhir menarik, yaitu inovatif dan kreatif. Karena pandemi, teknologi di bidang kesehatan dan farmasi menjadi berkembang, maju beberapa langkah dibanding sebelumnya. Banyak perusahaan terkait berlomba menciptakan alat, vaksin, dan obat. Ini namanya inovasi.

Lalu bagaimana dengan sisi kreativitasnya? Ya, pandemi juga membuat kita berpikir keras, bagaimana memanfaatkan segala sesuatu yang kita miliki agar berguna dalam membantu penanganan pandemi.

Aksi sederhana menangani pandemi yakni tidak menjadi bagian dari penyebar virus. Maka dari itu, sebagian besar aktivitas, kita langsungkan dari rumah. Memfungsikan rumah sebagai tempat tinggal sekaligus ruang kerja atau belajar. Terpaksa kreatif. Kreatif terpaksa.

Kreatif berarti mencari solusi atas suatu kondisi yang serba terbatas. Tentu di antara Anda ada yang paham maksud tulisan ini, lewat judul "Sulaplah Gedung Sekolah Nganggur Itu Jadi Rumah Sakit Darurat".

Belakangan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengeluh terbatasnya kapasitas ruang perawatan bagi para pasien Covid-19 di rumah sakit. Keterisian ruang disebut sudah lebih dari 80 persen. Mengapa?

Sebab, selain warga ber-KTP DKI Jakarta, para pasien juga ternyata berasal dari wilayah-wilayah kota penyangga, yaitu Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Ujungnya, Pemprov DKI Jakarta berencana "angkat tangan", dan meminta pemerintah pusat memegang kendali secara penuh.

Maksudnya apa ini? Mengapa Pemprov DKI Jakarta tidak berkoordinasi dengan Pemprov Jawa Barat dan Pemprov Banten untuk mencari solusi secara bersama-sama? Bukankah pemerintah pusat saat ini juga tengah pusing menangani musibah bentuk lain di berbagai daerah?

Khususnya Pemprov DKI Jakarta, mengapa tidak menyulap gedung-gedung milik pemerintah yang "tidak berpenghuni" untuk jadi rumah sakit darurat? Tidakkah dipikir bahwa Wisma Atlet di Kemayoran saja bisa difungsikan sementara sebagai tempat perawatan pasien?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun