Mohon tunggu...
Tuhombowo Wau
Tuhombowo Wau Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

tuho.sakti@yahoo.co.uk

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Setelah Getah Getih dan Gabion, Kini Jakarta Punya "Atap Warna-warni"

19 Januari 2021   10:29 Diperbarui: 19 Januari 2021   10:53 1067
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Atap warna-warni rumah warga di sekitar flyover Tapal Kuda, Lenteng Agung, Jakarta Selatan | Gambar: Dok. Dewan Kesenian Jakarta via KOMPAS.com

Sepertinya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak kehabisan ide dalam mempercantik wilayah ibu kota. Program beautifikasi untuk menjadikan beberapa lokasi tertentu terlihat "instagramable" terus dijalankan.

Kalau dulu Jakarta sempat punya 2 (dua) ikon menarik yaitu rangkaian bambu getah-getih dan tumpukan batu bronjong (gabion), di mana keduanya berlokasi di Bundaran Hotel Indonesia, sekarang ada lagi, yakni atap warna-warni.

Atap warna-warni hasil pengecatan ini dibuat di perumahan warga di sekitar flyover Tapal Kuda, Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Pemprov DKI Jakarta mengaku pengecatan terlaksana atas hasil kolaborasi mereka bersama Dewan Kesenian Jakarta, perusahaan produksi cat, dan warga.

Apakah artinya Pemprov DKI Jakarta tidak mengeluarkan dana sepeser pun? Tidak ada yang tahu pasti. Lagipula rincian pengeluaran pelaksanaan program tidak dibuka ke publik. Yang dikabarkan hanya jumlah cat yang dihabiskan, yaitu sebanyak 8 ribu liter.

Mudah-mudahan betul APBD tidak ikut dikuras, sehingga tidak seperti getah-getih yang pernah menelan dana Rp 550 juta dan batu bronjong sebesar Rp 150 juta.

Sebenarnya masih ada satu lagi yang sempat "dipaksa" jadi ikon Jakarta, yakni pajangan pohon imitasi di sepanjang Jalan Thamrin, dengan total biaya Rp 2,3 miliar. Artinya, hadirnya atap warni-warni, berarti Jakarta sudah (pernah) punya empat ikon menarik.

Instalasi getah getih di Bundaran HI | Gambar: KOMPAS.com
Instalasi getah getih di Bundaran HI | Gambar: KOMPAS.com
Instalasi gabion atau batu bronjong di Bundaran HI | Gambar: KOMPAS.com
Instalasi gabion atau batu bronjong di Bundaran HI | Gambar: KOMPAS.com
Pohon imitasi atau pohon plastik di sepanjang Jalan Thamrin | Gambar: KOMPAS.com
Pohon imitasi atau pohon plastik di sepanjang Jalan Thamrin | Gambar: KOMPAS.com
Perlu diketahui, program pengecatan rumah warga yang dipastikan sudah selesai tersebut merupakan gagasan Gubernur Anies Baswedan, sejak Agustus 2020 lalu. Tujuannya untuk membuat pemukiman warga lebih estetik.

Jiwa seni Gubernur Anies memang luar biasa. Bahkan di saat pandemi Covid-19 saja, beliau masih memikirkan cara mempercantik rumah-rumah warga. Apalagi didukung produsen cat, sebagai bagian CSR perusahaan, tentu patut diapresiasi.

Cuma, pertanyaannya adalah: Mengapa harus di rumah warga? Bagaimana cara menikmati pemandangan "menakjubkan" itu? Apa dampak lebih bagi warga selain pemandangan yang diabadikan lewat foto atau video?

Pertanyaan di atas kiranya perlu dijawab oleh pejabat Pemprov DKI Jakarta, khususnya Gubernur Anies. Maksudnya, jangan nanti ke depan nasib atap warna-warni itu serupa dengan yang dialami getah-getih, batu bronjong, dan pohon imitasi. Tidakkah ketiganya sudah lenyap tanpa jejak?

Mengapa bukan di lokasi lain? Mengapa harus dekat flyover? Apakah maksudnya bahwa untuk menikmati pemandangan dan mengambil gambar, maka orang-orang harus berdiri di flyover? Tidakkah mengganggu lalu-lintas?

Sebab, satu-satunya cara untuk bisa melihat pemandangan lebih enak, ya di flyover. Kecuali yang punya fasilitas drone. Dan lewat drone pun, seseorang tetap kesulitan melakukan swafoto.

Lalu, bagaimana caranya agar pemandangan dapat dinikmati tidak hanya di siang hari? Sudah adakah fasilitas penerangan di sana? Jelaskah gambar atau video yang diambil pada malam hari? Bukankah lagi-lagi sama, yaitu orang harus naik flyover?

Kemudian soal dampak lebih. Apakah dengan atap rumah mereka di cat warna-warni, maka kehidupan warga menjadi semakin baik? Maknanya misalnya, kelak lokasi itu ramai dan meningkatkan perekonomian?

Ini bukan masalah sumber biaya didapat dari mana, apakah dari APBD atau CSR, tetapi manfaat atap warna-warni bagi kehidupan warga sekitar. Jika sekadar beautifikasi, maka percuma.

Andai perusahaan produksi cat sedang berbaik hati, maka sumbangan CSR yang diminta sesungguhnya tidak harus berwujud cat. Bisa dalam bentuk uang, untuk kemudian digunakan sebagai penambah dana bantuan sosial di masa pandemi.

Tapi ya sudahlah. Sudah terlanjur. Semoga dampak positif bagi kehidupan warga muncul seiring berjalannya waktu. Selamat menikmati atap warna-warni. ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun