Mohon tunggu...
Tuhombowo Wau
Tuhombowo Wau Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

tuho.sakti@yahoo.co.uk

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Krisis Kedelai, Mental Keledai, dan Mimpi Swasembada

4 Januari 2021   21:52 Diperbarui: 4 Januari 2021   22:18 511
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pembuatan tahu dan tempe dari bahan kedelai | Foto: KOMPAS.com/ Andreas Lukas Altobeli

Produsen tahu dan tempe di tanah air tengah terhimpit masalah. Sebagian dari mereka memilih untuk berhenti produksi, lantaran suplai bahan baku kedelai tersendat serta meningkatnya biaya.

Tidak hanya produsen, konsumen tahu dan tempe pun akhirnya turut merasakan dampak buruknya. Di samping harga yang melonjak, kedua komoditas pangan ini menjadi langka.

Naiknya harga serta sulitnya menemukan tahu dan tempe di pasar disebabkan oleh berkurangnya pasokan kedelai impor, yang selama ini konsisten didatangkan dari Amerika Serikat, Kanada, Urugay, Argentina, dan Perancis.

China selaku importir terbesar kedelai AS sudah memborong banyak. Akhirnya negara importir lain, termasuk Indonesia dilanda kelangkaan. Padahal tiap tahun, setidaknya 1,92 juta ton kedelai AS dibutuhkan Indonesia.

Dari total kebutuhan nasional yakni minimal 2,5 juta ton per tahun, Indonesia hanya punya kedelai lokal sebanyak 800 ribu ton. Artinya, kurang sepertiga dari jumlah yang dibutuhkan. Itulah alasan mengapa kedelai mesti diimpor.

Pertanyaannya, sampai kapan Indonesia harus mengalami krisis kedelai? Mengapa menunggu terjadi kelangkaan, baru kemudian sadar? Tidakkah seharusnya diantisipasi sebaik dan sedini mungkin?

Lalu, mengapa Indonesia gemar impor kedelai, sementara negeri ini sebenarnya mampu memproduksi dalam jumlah banyak? Apakah Indonesia kekurangan lahan untuk dijadikan tempat menanam kedelai?

Adakah Indonesia "bermental keledai" sehingga enggan berbuat sesuatu yang lebih serius dalam rangka menghentikan persoalan kedelai, karena "hidung" telah lama terikat kuat oleh "tali tambang" impor?

Entah siapa yang berhak dan wajib menjawab sekian pertanyaan di atas. Namun, kiranya yang berkewenangan adalah pemerintah. Warga cuma menunggu dan mengikuti arahan pemerintah.

Kelangkaan kedelai sesungguhnya bukan cuma terjadi sekali atau dua kali. Hampir tiap saat begitu. Ada saja masalah menyangkut keberadaan maupun harga tempe dan tahu. Sampai kapan kejadian ini berlangsung terus-menerus?

Bahkan pihak Kementerian Pertanian sendiri mengaku, kedelai lokal 800 ribu ton bergantung dari hasil jerih payah para petani. Maknanya, pemerintah belum terlibat langsung untuk menggenjot produksi. Misalnya dengan membuka dan mengelola lahan kedelai milik negara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun