Korban ketidaktegasan dalam arti, Bayu dan Andono agaknya melihat dan meniru sikap Anies yang tampak "toleran" kepada Rizieq dan kelompoknya. Akhirnya mereka ragu. Mau tegas, tapi tindakan Anies selaku atasan tidak mendukung.
Bagaimana mungkin Bayu, Andono, dan pejabat lain ingin tegas, sedangkan Anies justru pergi ke Petamburan untuk bertemu Rizieq? Bukankah hal itu menjadi titik awal dari keraguan para pejabat Pemprov DKI Jakarta dalam bertindak?
Dalam aturan PSBB masa transisi jelas dilarang yang namanya berpergian untuk hal-hal yang tidak penting. Pertanyaannya, pentingkah Anies melawat Rizieq? Tidakkah Anies sadar kalau Rizieq baru datang dari Arab Saudi, yang sedianya harus menjalani karantina?
Akibatnya apa? Para pejabat Pemprov DKI Jakarta menjadi ragu dan serba salah. Lalu, akibat lainnya adalah, kelompok penyanjung Rizieq menjadi semakin yakin bahwa rangkaian acara yang mereka rencanakan mustahil dilarang. Mereka merasa didukung atas lawatan Anies.
Maka dari itu, peristiwa kerumunan di DKI Jakarta belakangan ini dan "musibah" yang menimpa Bayu dan Andono, sudah sepantasnya para kepala daerah menjadikannya sebagai bahan permenungan.
Menjadi pemimpin atau atasan tidaklah mudah, bukan sekadar bicara. Apa yang dipikirkan dan diputuskan harus terwujud dalam tindak-tanduk nyata. Jangan apa yang dikatakan berbeda dengan yang dilakukan.
Pemimpin adalah contoh bagi para bawahan. Jika pemimpin lemah, lembek, dan tidak konsisten pada aturan, maka jangan kaget ketika para bawahan ragu dan kemudian memilih untuk mengikuti hal yang sama.
***Â