Mohon tunggu...
Tuhombowo Wau
Tuhombowo Wau Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

tuho.sakti@yahoo.co.uk

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Hakim Aktif Tidak Tepat Diberi Tanda Jasa atau Sejenis, Ini Alasannya

18 November 2020   05:43 Diperbarui: 18 November 2020   06:13 850
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi mahkamah konstitusi.(ANTARA FOTO/WAHYU PUTRO A)

Pengamat meminta agar keenam hakim MK tadi mau mengembalikan Bintang Mahaputera kepada negara, jika tidak ingin disebut "tangan kanan" pemerintah. Apalagi belakangan pemerintah sedang berupaya mempertahankan keberadaan UU Cipta Kerja dan UU lainnya.

Maksudnya, jangan sampai hakim menjadi terbelenggu, sehingga seolah punya kewajiban untuk mempermulus segala kepentingan politik pemerintah menyangkut UU. Tepatnya, demi menghindari conflict of interest (benturan kepentingan).

Selanjutnya kalangan buruh. Mereka berharap independensi hakim MK dalam menyelesaikan persoalan judicial review (uji materiil dan formil) UU Cipta Kerja tidak terganggu gara-gara Bintang Mahaputera.

"Kami turun untuk mengajukan uji materiil dan formil. Jangan sampai Bintang Mahaputera dari presiden, hakim MK jadi galau. MK harus independen dalam menguji undang-undang secara profesional, proporsional," kata Ketua Umum FSP TSK SPSI, Roy Jinto, Senin (16/11/2020).

Salahkah pengamat dan kalangan buruh mengkritik penganugerahan Bintang Mahaputera? Menurut saya, tidak. Sebab, siapa pun pasti berprasangka demikian. Walaupun pada kenyataannya ke depan, para hakim konsisten, profesional, dan independen.

Lalu salah pulakah hakim MK menerima Bintang Mahaputera dari negara? Tidak juga. Mereka berhak menerimanya dan tidak melanggar aturan. Konstitusi mengizinkannya. Hanya momennya yang tidak tepat, selain untuk menjaga marwah dan kehormatan lembaga.

"MK membiarkan dirinya terbawa arus benturan kepentingan antara hakim dan pembuat undang-undang. Demi menjaga marwah pengadilan dan kehormatan dirinya, hakim seharusnya tidak menerima hal tersebut," tutur pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas Padang, Feri Amsari, Minggu (15/11/2020).

Berarti letak kesalahannya ada di pemerintah? Jawabannya, "ya", tapi sebagian. Pemerintah tidak salah sepenuhnya. Pemerintah yang mengatasnamakan negara berkewajiban menjalankan amanat konstitusi, salah satunya memberi penghargaan kepada tokoh dan pejabat yang terbukti berjasa.

Akan tetapi, bukankah konsitusi dan UU tidak mewajibkan pemerintah melakukannya di waktu terbatas? Buktinya, penganugerahan dibuat terjadwal dua kali di tahun ini, yang tidak seperti biasanya.

Penganugerahannya tidak harus pada saat seorang hakim tengah aktif menjabat. Sebaiknya usai pensiun dari jabatan, supaya penilaian negatif dari publik menjadi nihil. Di sinilah letak kesalahan pemerintah. Kurang sensitif membaca keadaan.

Baca juga: Tangani Kasus Pemilu 2019, Tantangan dan Peluang bagi MK Perbaiki Citra

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun