Setelah 3 (tiga) tahun berada di Arab Saudi, yakni sejak 2017, akhirnya Pimpinan Front Pembela Islam (FPI), Habib Rizieq Shihab kembali ke Indonesia. HRS dikabarkan telah tiba di Terminal 3 Bandara Internasional Soekarno-Hatta hari ini, Selasa (10/11) sekitar pukul 08.37 WIB. HRS bertolak dari Jeddah menggunakan pesawat SV816.
Menyambut kedatangan HRS, ribuan para pendukung ramai-ramai ke bandara. Sebagian dari mereka berasal dari Lampung, Semarang, hingga Madura. Mayoritas dari Jakarta dan sekitarnya.
Lalu-lintas menuju bandara macet parah, karena kendaraan yang dipakai pendukung HRS terparkir di jalan tol. Akibatnya, para calon penumpang pesawat terpaksa berjalan kaki menuju bandara, serta beberapa jadwal penerbangan mengalami penundaan.
Sila baca artikel KOMPAS.com: Akses ke Bandara Soekarno-Hatta Macet, Delay hingga 3 Jam, 28 Penerbangan Terganggu
Kepulangan HRS ke tanah air ternyata terwujud. Bukan seperti sebelum-sebelumnya yang selalu tertunda. Entah apa penyebabnya, yang jelas pemerintah tegas mengaku tidak pernah menghalang-halangi keinginan HRS.
Ada sumber yang menyebutkan HRS pulang dideportasi dan ada juga yang mengatakan karena kemauan sendiri. Belum jelas apa yang akan dilakukan HRS setelah berada di Indonesia. Agenda pertama yakni menikahkan anaknya, yang bernama Syarifah Najwa Shihab, pada 14 November 2020.
Meski demikian, tentu hadirnya HRS akan menjadi "berkah" bagi FPI. Soalnya selama beberapa tahun terakhir, anggota organisasi massa ini seperti "kehilangan induk". Gara-gara HRS di Arab Saudi, mereka tidak banyak berbuat apa-apa. Bahkan pada Pilpres 2019 lalu, suara mereka cuma sayup-sayup terdengar.
Pemerintah tidak mempersoalkan kedatangan HRS, lalu bagaimana dengan pihak penegak hukum? Bukankah HRS sedang tersangkut beberapa masalah? Bagaimana kelanjutan proses hukumnya?
Untuk penanganan kasus HRS, biarlah menjadi kewenangan penegak hukum. Sebaiknya memang harus diselesaikan (diproses), supaya publik tidak bertanya-tanya, dan HRS pun semakin nyaman ke depan.
Di samping "kehilangan induk", persoalan lain yang dialami FPI selama HRS di Arab Saudi adalah kehilangan harapan atas terbitnya Surat Keterangan Terdaftar (SKT) sebagai ormas resmi. Seperti diketahui, SKT FPI telah berakhir atau kadaluarsa pada 20 Juni 2019, dan pemerintah enggan memperpanjang.
Alasan pemerintah, yakni sebagian besar persyaratan memang sudah dipenuhi, tetapi FPI harus mau menandatangani Surat Pernyataan Kesetiaan terhadap Pancasila dan Undang-undang Dasar Tahun 1945.
Visi dan misi FPI yang tertuang di dalam Anggaran Dasar/ Anggaran Rumah Tangga (AD/ ART) tidak sesuai Pancasila dan UUD 1945. Pada AD/ ART juga tercantum kata "khilafah" dan "pengamalan jihad". Pemerintah meminta FPI memperjelasnya, sehingga tidak ditafsir liar masyarakat.
Dengan tidak punya SKT, berarti FPI untuk sementara ilegal. Walaupun Sekretaris Jenderal FPI, Munarman mengatakan pengajuan SKT bukan kewajiban, di mana mereka tetap beraktivitas tanpa surat itu. Namun karena sempat terdaftar, mestinya FPI harus memperpanjang SKT. Kecuali jika belum pernah didaftarkan.
Misalnya, ketika ke depan hendak berkegiatan macam-macam, apa pun jenisnya, tentu pemerintah dan pihak keamanan akan meminta syarat legalitas FPI. Umpamanya ingin berunjuk rasa. Mengatasnamakan ormas tanpa SKT, segala kegiatan FPI tidak sah.
Hampir satu setengah tahun tidak mengantongi SKT, akankah FPI mengajukannya kembali untuk diproses pemerintah? Bagaimana dengan prasyarat revisi kata "khilafah dan pengamalan jihad", mungkinkah dipertimbangkan oleh FPI?
Apakah dengan hadirnya HRS, segala keperluan legalitas dan sederet rencana kegiatan FPI menjadi lancar? Mari tunggu saja. Lancar atau tidak, yang paling penting diupayakan adalah negeri ini terus kondusif.
Hal penting berikutnya, pemerintah mesti konsisten pada pendiriannya dalam menegakkan aturan. Tidak boleh ada satu ormas pun yang diberi keleluasaan berbuat seenaknya. Semua ormas wajib tunduk pada hukum dan perundang-undangan yang berlaku.
***Â