Mohon tunggu...
Tuhombowo Wau
Tuhombowo Wau Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

tuho.sakti@yahoo.co.uk

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Enggak Semua yang Lulus Kuliah Itu (Bisa) Kerja, Om

27 Oktober 2020   17:30 Diperbarui: 29 Oktober 2020   09:20 1046
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi wisuda | Sumber gambar: futuready.com

Kemarin sore, sehabis belanja barang kebutuhan pokok di Pasar Kembayan (Kecamatan Kembayan, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat), saya singgah di rumah sepupu isteri saya, tidak jauh dari lokasi pasar. Saya ke sana untuk berkunjung, sekaligus beli ayam potong. Mereka kebetulan jualan ayam dan ikan di rumah.

Namun, sebelumnya, saya mau beritahu pembaca kalau keluarga kecil saya "terpaksa" berdomisili sementara di desa mertua di Kalimantan Barat gara-gara Covid-19. Kami mengungsi dari Jakarta tujuh bulan yang lalu.

Lanjut cerita, seusai beli ayam, saya sempat ngobrol dengan anak pertama sepupu isteri saya. Dia perempuan, dan sekarang sedang mengenyam pendidikan tingkat SMA, tepatnya di bangku kelas XII. 

Di sela obrolan, saya bertanya kepada keponakan saya itu tentang cita-citanya setelah tamat SMA. Saya tanya, dia akan melanjutkan ke universitas mana dan jurusan apa.

Menanggapi pertanyaan saya, dia menjawab kalau dirinya tidak ingin kuliah, sama seperti yang disarankan ayahnya. Dia memilih kursus saja, sesuai minatnya. Alasannya, kuliah memakan waktu lama dan biayanya tidak sedikit.

Saya kaget mendengar jawabannya. Sebab, saya tahu dia pintar, dan orangtuanya juga pasti mampu mencukupi seluruh biaya pendidikannya. Ayahnya punya banyak jenis usaha selain berjualan ayam dan ikan. Ada belasan hektar kebun kelapa sawit usia panen dan sejumlah bangunan sarang walet.

Saran ayahnya cuma bahan pertimbangan, ternyata dia sendiri yang akhirnya memutuskan untuk tidak kuliah. Dia akan kursus bisnis dan sekarang sedang mencari lembaga yang cocok. 

Baginya, kursus tidak menyita waktu dan lebih hemat uang. Sekali lagi, keluarganya sebenarnya mampu membiayai pendidikannya sampai level apa pun.

Tidak puas dengan jawabannya tadi, saya kembali bertanya, apa sesungguhnya pertimbangan lain sehingga seakan "menyia-nyiakan" kesempatan yang ada. Jawaban lanjutan darinya mengagetkan, sekaligus menginspirasi saya.

Dia menjawab, "Kalau pun kuliah, saya belum tentu langsung kerja, Om. Kerja di tempat atau perusahaan orang kurang enak. Syukur-syukur saya dapat kerja dengan gaji lumayan. Kalau enggak, semua biaya saya untuk kuliah sia-sia. Kerja di tempat orang juga enggak menjamin kita bakal terus dapat uang. Bahkan potensi kena PHK tetap ada. Contohnya, kita enggak cocok lagi di mata pemberi kerja, terus kita diberhentikan. Jadi, ngapain kita hidup dan kerja diatur-atur orang lain? Mending kita kerja untuk diri sendiri, berbisnis mandiri, kita yang atur semuanya". Itulah jawaban yang terungkap dari mulutnya.

Cukup mengagetkan, bukan? Ya, karena lewat alasannya, tampaknya dia sudah siap dengan apa yang akan dihadapi kelak. Rangkuman alasannya kiranya begini: tidak mau buang-buang uang dan waktu, tidak ingin dikekang oleh aturan orang lain, dan berencana membuka usaha sendiri.

Selanjutnya, di atas saya sebut sebagai "inspirasi" juga, karena ternyata apa yang dikatakannya memang realitasnya demikian. Belajar setinggi-tingginya tidak akan menjamin seseorang mampu hidup aman dan nyaman. Apalagi ketika akhirnya kita kebingungan, sebab kompetensi yang kita miliki belum tentu sesuai dengan kriteria perusahaan idaman. 

Mau sampai kapan kita membuang waktu hanya untuk tampil layak di mata orang lain? Mengapa tidak menjadi pengusaha meski mulai dari nol atau dasar.

Menariknya, keponakan saya itu seolah mengingatkan saya dan mungkin sebagian orang yang saat ini menggantungkan sumber pendapatan utama dari hasil kerja di tempat orang lain, entah di lembaga atau perusahaan. Bahwa ternyata, pendapatan sangat dipengaruhi oleh regulasi dan kondisi.

Regulasi misalnya, kita tidak dapat menghindari yang namanya perampingan jumlah karyawan sehingga terjadi PHK. Saya tidak pernah mengalaminya, karena pindah tempat kerja selama ini atas kemauan sendiri. 

Banyak faktor penyebabnya. Antara lain misalnya jarak lokasi kerja terlalu jauh dari tempat tinggal, penghasilan tidak memuaskan, hingga budaya di perusahaan yang kurang kondusif.

Kemudian, kondisi (masih terkait juga regulasi). Sampai kapan saya dan pekerja lain terombang-ambing karena peraturan terbaru, baik dari perusahaan maupun pemerintah?

Coba dibayangkan, seandainya saya dan sebagian orang lain memilih punya usaha sendiri juga, di samping menjadi karyawan. Bukankah umpamanya dengan adanya Covid-19 dan UU Cipta Kerja tidak membuat diri kehilangan arah?

Sebab, meskipun muncul aturan atau wabah melanda, aktivitas tetap berjalan dan pendapatan konsisten ada. Keluar atau dikeluarkan dari perusahaan dengan alasan Covid-19 dan melanggar aturan kala ikut berdemonstrasi menolak UU Cipta Kerja, bukankah mestinya itu tidak terjadi?

Tidak mengafirmasi semua pengakuan keponakan saya, karena keputusan yang diambil seseorang sesuai motivasi, selera, dan misi hidup. Ada yang bekerja demi pelayanan (bukan semata mencari uang), untuk mengukir jejak karir, dan ada pula yang nyata sukses mendapatkan penghasilan cukup dengan berstatus pekerja (di tempat orang lain). Maka dari itu, saya mengatakan kepadanya, pilihan setiap orang pasti berbeda-beda. Tetap tergantung pertimbangan dan cita-cita pribadi.

Mengulang lagi, sebagian besar yang diutarakannya benar adanya. Tidak semua orang yang lulus kuliah mampu langsung bekerja atau cepat diterima perusahaan. Dan keponakan saya memutuskan untuk tidak kuliah tetapi memulai bisnis. Terserah dia, itulah keputusannya. 

Bagaimana dengan saya dan Anda? Kalau saya, sepertinya sudah ada rencana mengikuti "arahannya", merancang usaha kecil-kecilan. Mudah-mudahan belum terlambat.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun