Mohon tunggu...
Tuhombowo Wau
Tuhombowo Wau Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

tuho.sakti@yahoo.co.uk

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mungkin Trump Tidak Akan Terpilih Lagi, Ini Penyebabnya

17 September 2020   17:14 Diperbarui: 17 September 2020   17:24 302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan lawannya di Pilpres 2020, mantan Wakil Presiden Joe Biden | Gambar: KOMPAS.com/ AFP

Pilpres 2020 Amerika Serikat tinggal menghitung hari, kurang dari 2 (dua) bulan, tepatnya akan dilaksanakan pada Selasa, 3 November 2020. Perhelatan pesta demokrasi negeri Paman Sam ini diikuti dua pasangan calon, yaitu Donald Trump-Mike Pence (dari kubu Republik) dan Joe Biden-Kamala Harris (dari kubu Demokrat).

Kira-kira pasangan mana yang bakal memenangkan pertarungan? Mari tunggu hasil keputusan warga Amerika Serikat seusai mereka memberikan suaranya. Apakah suara mayoritas diserahkan kepada calon petahana, Trump, atau calon penantang, Biden.

Seperti yang diketahui publik, Trump ingin melanjutkan kepemimpinannya di periode kedua (sejak 20 Januari 2017), sementara Biden berencana "naik tingkat" setelah sempat mendampingi Barack Obama sebagai wakil presiden selama dua periode (20 Januari 2009-20 Januari 2017).

Trump tetap berpasangan dengan Pence, sedangkan Biden memilih senator California, Harris sebagai pendampingnya. Jika Trump menang lagi, maka jabatan kedua kali disandangnya. Namun jika Biden yang menang, berarti usaha yang ketiga kali untuk menjadi presiden terkabul, di mana sempat mencalonkan diri sebagai calon presiden juga pada 1988 dan 2008.

Tidak bermaksud mendahului keputusan warga Amerika Serikat dalam memilih pemimpin mereka. Tulisan ini hanya sekadar prediksi, yang pada akhirnya bisa menjadi kenyataan ataupun sebaliknya, meleset. Penulis memperkirakan Trump tidak akan terpilih lagi di periode kedua. Istilah halusnya, Trump sulit mengalahkan Biden dan mendapat kepercayaan warga.

Mengesampingkan dampak buruk empeachment (pemakzulan) yang sempat dialami Trump di Kongres DPR dan Senat beberapa waktu lalu, di mana ketika itu ia terbebas dari sanksi pelengseran, berikut beberapa poin yang menurut penulis akan menghambat Trump menikmati kembali kursi kepresidenan:

Pertama, dari berbagai hasil survei, citra Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Trump menurun drastis. Trump masuk kategori pemimpin dunia yang kurang dipercaya. Dari 13 pemimpin negara yang disurvei oleh Pew Research Center (dirilis pada Selasa, 15 September 2020), Trump mendapat penilaian terburuk, alias terendah. Posisi terbaik disandang oleh Kanselir Jerman, Angela Merkel.

Survei yang dilakukan tadi didasarkan pada keseriusan pemimpin negara menangani pandemi Covid-19. Trump dinilai sangat meremehkan keberadaan pandemi, terlihat bagaimana ketika ia asal-asalan berkomentar dan enggan disiplin menerapkan protokol kesehatan. Karena sikapnya demikian, sebagian warga kemudian ikut-ikutan.

Contoh komentar asal-asalan Trump itu misalnya saat ia mengatakan bahwa pandemi akan hilang dengan sendirinya, menjanjikan vaksin Covid-19 datang dalam waktu dekat.

"Kami sangat dekat dengan vaksin. Kita hanya butuh beberapa pekan untuk mendapatkannya. Anda tahu, bisa jadi tiga pekan, empat pekan," kata Trump dalam sesi tanya jawab dengan pemilih di Pennsylvania, Selasa (15/9).

Padahal para ahli berpandangan, vaksin tidak mungkin tersedia di tahun ini. Paling cepat awal tahun depan. Komentar-komentar Trump ini kemudian dianggap beberapa pihak sebagai upaya mempolitisasi pandemi Covid-19. Trump ingin menjaga kepercayaan warga terhadap dirinya dengan cara menjanjikan sesuatu yang mustahil terjadi.

Perilaku Trump yang dinilai menyepelekan protokol kesehatan adalah ketika dirinya kerap tidak memakai masker saat berada di ruang publik atau bertemu orang banyak. Contoh saja, Trump tetap "ngeyel" mengadakan kampanye indoor di Kota Henderson, wilayah negara bagian Nevada pada Minggu, 13 September 2020, meskipun sudah diingatkan serta dilarang otoritas setempat.

Kedua, gara-gara ketidakseriusan Trump menangani Covid-19, kondisi ekonomi Amerika Serikat berada pada posisi terburuk. Trump disebut telah membawa negaranya masuk ke dalam jurang resesi besar, melampaui negara-negara lainnya. Julukan negara "adikuasa" tumbang dan sudah tidak relevan lagi. Pada kuartal II tahun ini, ekonomi Amerika Serikat jatuh hingga 32,9 persen.

Bahkan menurut ekonom sekaligus penerima tunggal Penghargaan Nobel dalam Ilmu Ekonomi, Paul Krugman, resesi ekonomi Amerika Serikat kali ini cukup besar dan lebih buruk ketimbang krisis keuangan pada 2008 silam.

"Penangguhan tunjangan federal akan menciptakan kerusakan yang hampir sama mengerikannya dengan efek ekonomi akibat coronavirus. Yang tidak terjadi pada masa itu ialah hilangnya pekerjaan secara besar-besaran putaran kedua, yang dipicu oleh turunnya permintaan konsumen. Jutaan pekerja kehilangan pendapatan rutin; tanpa tunjangan federal, mereka akan terpaksa memangkas pengeluaran, menyebabkan jutaan lagi orang kehilangan pekerjaan," ujar Krugman, Kamis (6/8).

Ketiga, hasil jajak pendapat di negara-negara bagian kunci atau yang disebut "battleground states" menyatakan suara elektoral Biden mengungguli Trump. Lagi-lagi berkaitan dengan kebijakan Trump dalam menangani pandemi Covid-19. Sebagian besar warga Amerika Serikat "tidak terkesan" dengan cara-cara yang dilakukan Trump.

Gambar: bbc.com
Gambar: bbc.com
Gambar: bbc.com
Gambar: bbc.com
Keempat, sebagian anggota dan keluarga militer Amerika Serikat mengaku menyesal karena telah memilih Trump sebagai pemimpin mereka. Hampir 50 persen yang ikut jajak pendapat melaporkan pernyataan yang tidak menyenangkan terhadap Trump. Padahal pada Pilpres sebelumnya, simpati pihak militer terhadap Trump amat besar, melebihi yang diperoleh Hilary Clinton. Trump mengejek anggota tentara yang tewas dan ditangkap dalam perang dengan sebutan "pecundang" dan "bodoh".

Kelima, entah memang sudah karakternya demikian atau karena frustasi akibat pandemi Covid-19, Trump belakangan intens melancarkan serangan membabi-buta terhadap lawannya, Biden. Ia mengatakan, jika Biden terpilih, maka Amerika Serikat akan kacau dan rusuh. Kemudian, ia juga mengatakan Biden "bodoh" dan perlu menjalani tes narkoba.

Apakah aksi serangan pribadi brutal Trump terhadap Biden bisa disebut tanda-tanda kepanikan karena khawatir bakal kalah? Biarlah waktu yang menjawab. Mari tunggu keputusan warga Amerika Serikat. Setidaknya, rekapitulasi serangkaian hasil survei dalam sepekan terakhir sejak kampanye resmi dimulai, elektoral Biden konsisten mengungguli Trump.

Presiden Amerika Serikat ke-46, Trump atau Biden? Mari sabar menunggu. ***

Referensi: [1] [2] [3] [4] [5] [6] [7] [8] [9] [10] [11]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun