Mohon tunggu...
Tuhombowo Wau
Tuhombowo Wau Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

tuho.sakti@yahoo.co.uk

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Akankah DPR Menerima Perppu KPK yang Diterbitkan Jokowi?

27 September 2019   21:37 Diperbarui: 27 September 2019   21:49 271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Joko Widodo (tengah) berbincang dengan sejumlah tokoh dan budayawan usai pertemuan di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (26/9/2019). Presiden menyatakan akan mempertimbangkan untuk menerbitkan Perppu KPK (ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay) | KOMPAS.com

Jika kita berada di posisi Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat ini, tentu perasaan kita sungguh tidak nyaman. Ketidaknyamanan itu terkait sikap terbaik apa yang harus diambil untuk menyikapi aksi penolakan sebagian publik atas UU KPK hasil revisi yang sudah disahkan beberapa waktu lalu.

Lewat aksi unjuk rasa, publik menuntut Presiden Jokowi membatalkan UU KPK hasil revisi dan menggantinya dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpppu). Bayangkan saja, UU yang diinisiasi DPR tersebut dituntut dicabut padahal baru beberapa hari disahkan.

Meski sebelumnya sempat menolak, ternyata kemarin (Kamis, 26 September 2019) Presiden Jokowi menyatakan bahwa terbuka kemungkinan ada penerbitan Perppu.

"Berkaitan dengan UU KPK yang sudah disahkan oleh DPR, banyak sekali masukan yang diberikan kepada kita, utamanya masukan itu berupa Perppu. Tentu saja ini kami hitung, kalkulasi dan nanti setelah itu akan kami putuskan dan sampaikan kepada senior-senior yang hadir pada sore hari ini," ujar Presiden Jokowi.

Presiden Jokowi bersikap demikian setelah mendengar masukan dari beberapa tokoh yang diundang beliau di istana. Salah seorang tokoh yang hadir adalah Mahfuf MD, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi.

Dari hasil pertemuan, sebenarnya selain usulan penerbitan Perppu, ada dua opsi lain yang bisa dipilih oleh Presiden Jokowi. Mewakili para tokoh lain, Mahfud mengatakan kedua opsi itu adalah legislative review dan judicial review.

Namun kata Mahfud, mayoritas tokoh cenderung mengusulkan penerbitan Perppu. Selengkapnya baca: Menimbang 3 Cara Pembatalan UU KPK Hasil Revisi Versi Mahfud MD.

Dilematis, Presiden Jokowi harus dihadapkan pada dua pilihan sulit, antara mengakomodasi tuntutan publik (massa) dengan menerbitkan Perppu atau mempertahankan sementara keberadaan UU KPK hasil revisi demi menjaga perasaan para anggota DPR.

Kalau ditilik ke belakang, sesungguhnya inisiator atau pengusul revisi Revisi UU KPK Nomor 30 Tahun 2002 adalah DPR, artinya yang mesti dituntut atau diprotes itu adalah anggota DPR, bukan pemerintah atau Presiden Jokowi.

DPR wajib ditanya mengapa lembaga itu menyusun revisi UU KPK tanpa pertimbangan matang sehingga menuai protes publik. Bukankah anggota DPR itu wakil rakyat yang tentunya lebih memihak suara rakyat? Mengapa Presiden Jokowi yang mendapat getah padahal bukan pemanjat pohon nangka?

Tapi sudahlah, peristiwa unjuk rasa terlanjur terjadi. Presiden Jokowi terpaksa menerima kenyataan pahit, disudutkan. Lalu apa langkah terbaik untuk diambil beliau supaya sama-sama memenangkan hati dua pihak, yakni publik dan DPR?

Langkah yang paling baik menurut penulis adalah legislative review atau judicial review. Artinya UU KPK hasil revisi tetap berlaku, namun dalam waktu secepat-cepatnya pemerintah dan DPR segera memfasilitasi kedua langkah tadi supaya bisa terakomodir.

Namun sepertinya kedua langkah di atas tidak diinginkan publik (massa). Mereka tetap menuntut penerbitan Perppu dalam waktu cepat. Pertanyaannya, jika seandainya Presiden Jokowi betul menerbitkan Perppu, apakah DPR mau menyambutnya dengan senang hati?

Karena usai Presiden Jokowi mengatakan membuka kemungkinan penerbitan Perppu, setidaknya dua pimpinan partai berikut tampaknya belum setuju sepenuhnya, yaitu Ketua DPP PAN Yandri Susanto dan Ketua DPP PDIP Bambang Wuryanto.

Walaupun mengaku tidak masalah jika Perppu diterbitkan, Yandri mengatakan bahwa ada kemungkinan DPR menerima atau menolak.

"Saya kira tidak ada masalah, itu kan hak penuh pak presiden tetapi dalam hukum perundang-undangan kita, perppu itu akan diuji atau akan dinilai oleh DPR secara keseluruhan apakah akan diterima atau tidak," ucap Yandri (27/9/2019).

Ucapan Yandri lumayan asertif, tetapi yang disampaikan Bambang agak kaku. Menurut Bambang, bila Presiden Jokowi terbitkan Perppu, sama artinya tidak menghormati DPR.

"Bukan dengan perpu. Clear. Kalau begitu (perpu terbit) gimana? Ya, mohon maaf Presiden enggak menghormati kita, dong," kata Bambang (27/9/2019).

Bambang meminta publik mengevaluasi UU KPK hasil revisi lewat mekanisme judicial review. Penerbitan Perppu dengan alasan tekanan massa (aksi unjuk rasa) menurutnya tidak tepat. 

Senada dengan ucapan Yandri, Bambang menegaskan bahwa Perppu yang nantinya diterbitkan Presiden Jokowi kemungkinan diterima atau ditolak. Benarkah kita menuntut Presiden Jokowi menerbitkan Perppu? Bagaimana jika DPR menolaknya, apakah masih terjadi aksi unjuk rasa lagi? 

Sesungguhnya tiga opsi tadi (Perppu, legislative review dan judicial review) tidak ada yang instan. Semua butuh proses yang tidak kita tahu berapa waktu yang dihabiskan untuk itu.

Tapi mari kita serahkan pada kebijaksanaan Presiden Jokowi dan kebesaran hati para wakil rakyat. Semoga kedua belah pihak punya tujuan sama, yaitu 'menyenangkan' hati rakyat dan tetap komitmen pada upaya pemberantasan korupsi.

***

[1] [2]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun