Pertama, menerbitkan Perppu berarti Presiden Jokowi otomatis menggunakan kewenangannya sebagai kepala pemerintahan mencabut UU KPK hasil revisi yang kian disahkan.Â
Menurut Mahfud, Presiden Jokowi memiliki kewenangan penuh menerbitkan Perppu di kala kondisi bangsa tengah genting dan memaksa. Dengan demikian landasannya kuat, karena memang situasi perpolitikan nasional lagi memanas.
Akan tetapi dijelaskan Mahfud bahwa penerbitan Perppu bisa ditolak balik oleh DPR. Logis, bagaimana mungkin UU yang baru saja disahkan langsung dicabut dalam waktu cepat.
Kedua, judicial review, yang artinya Mahkamah Konstitusi (MK) diminta membatalkan UU yang belum lama disahkan. Namun Mahfud mengingatkan bahwa MK kemungkinan besar akan menolak judicial review karena UU disusun melalui prosedur yang benar dan sesuai konstitusi.
Ketiga, opsi yang direkomendasikan Mahfud untuk diambil yakni legislative review. Bagi Mahfud, legislative review merupakan jalan yang paling lembut dan prosedural untuk menyelesaikan polemik revisi UU KPK. Pemerintah dan DPR dapat kembali membahas perubahan UU KPK itu lewat program legislasi nasional di masa sidang berikutnya.
"Kalau saya sih menyarankan legislative review saja. Nunggu DPR ini, ya sudah disahkan sudah sesuai prosedur, disahkan. Nanti begitu pemerintah membuat prolegnas baru bersama DPR, masukkan (legislative review), tolong kita bahas lagi," kata Mahfud.
Mahfud menambahkan, jika opsi legislative review yang diambil, maka UU KPK hasil revisi yang sudah disahkan bakal tetap berlaku sembari menunggu rampungnya legislative review tersebut, yang bisa saja membutuhkan waktu panjang.
Semua opsi di atas ada plus-minus. Dan saat ditanya opsi mana yang paling kuat disuarakan oleh para tokoh yang hadir, Mahfud mengatakan yaitu penerbitan Perppu.
Opsi terbaik manakah yang akan diambil oleh Presiden Jokowi? Jawabannya, semua tergantung penilaian dan pertimbangan Presiden Jokowi sendiri. Beliau lebih tahu apa yang paling baik bagi warga dan negeri ini.
***