Mohon tunggu...
Tuhombowo Wau
Tuhombowo Wau Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

tuho.sakti@yahoo.co.uk

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Tegakkan Pasal Zinah, Jangan Lupa Basmi Juga Bisnis Esek-esek

21 September 2019   20:28 Diperbarui: 21 September 2019   20:34 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sejumlah pelaku prostitusi berbasis online | Gambar: tribunnews.com

Sebenarnya keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menunda pengesahan Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Revisi KUHP), dengan alasan bahwa masih ada beberapa hal yang perlu dibahas dan diperbaiki layak diapresiasi.

Alasan lainnya lagi adalah karena Presiden Jokowi memastikan pengesahan Revisi KUHP akan dilakukan pemerintah bersama anggota DPR RI periode 2019-2024, bukan yang saat ini tengah menjabat.

Artinya dengan penundaan itu, publik masih punya kesempatan menyampaikan pandangannya. Namun demikian, yang mesti dipahami adalah menunda bukan berarti membatalkan. Publik wajib tahu Revisi KUHP bisa saja disahkan pada tahun ini, entah bulan ini, bulan depan atau akhir tahun.

Cukup banyak Undang-Undang yang direvisi, yang menurut penilaian beberapa pihak isinya tidak masuk akal, multitafsir dan cenderung mengada-ada. Bahkan hasil revisi tidak relevan atau bertentangan dengan realitas yang terjadi di lapangan.

Mari ambil salah satu contoh misalnya revisi pasal yang berkaitan dengan perzinahan, seperti tertuang pada Pasal 417 ayat 1 yang berbunyi sebagai berikut:

"Setiap Orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya dipidana karena perzinaan dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda Kategori II".

Besaran denda Kategori II yakni sejumlah Rp 10 juta, sedangkan pengertian orang yang bukan suami atau istrinya yang dimaksud di atas yaitu:

  • laki-laki yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan perempuan yang bukan isterinya;
  • perempuan yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan laki-laki yang bukan suaminya;
  • laki-laki yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan perempuan, padahal diketahui bahwa perempuan tersebut berada dalam ikatan perkawinan;
  • perempuan yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan laki-laki, padahal diketahui bahwa laki-laki tersebut berada dalam ikatan perkawinan; dan
  • laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan melakukan persetubuhan.

Jika dipandang dari sisi positif, Pasal 417 ayat 1 tersebut sesungguhnya dapat berkontribusi meminimalisir terjadinya seks bebas, persetubuhan sedarah (insest), pemerkosaan, dan lain sebagainya.

Akan tetapi satu hal yang tampaknya dilupakan yaitu, bukankah artinya pasal yang sama akan otomatis menjerat mereka yang gemar 'jajan' di tempat prostitusi? Bagaimana dengan keberadaan bisnis "esek-esek" yang cukup susah diberantas?

Apakah bisnis haram mendapat pengecualian? Dan bahkan bukan cuma di tempat yang nyata-nyata dilokalisir untuk itu, bagaimana pula dengan hotel dan lokasi hiburan yang memberi keleluasaan kepada para penginap atau pengunjung menikmati surga dunia?

Yang patut dipahami lagi adalah bahwa aturan yang terdapat pada pasal berlaku wajib juga kepada orang-orang asing yang berstatus sebagai wisatawan atau turis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun