Mohon tunggu...
Tuhombowo Wau
Tuhombowo Wau Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

tuho.sakti@yahoo.co.uk

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Niatnya Bantu Orang Sakit, BPJS Kesehatan Malah Masuk UGD

2 Agustus 2019   03:02 Diperbarui: 2 Agustus 2019   03:08 364
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya kurang paham apa sebenarnya persoalan utama BPJS Kesehatan, sampai dikabarkan bahwa tahun ini mengalami defisit keuangan mencapai Rp 28 triliun.

Namun sekilas kiranya dua hal inilah yang menjadi penyebabnya, yakni karena pemasukan (iuran) minim dan pengeluaran (klaim rumah sakit dan biaya operasional) semakin bertambah.

Saya tidak membayangkan apa yang bakal terjadi terhadap BPJS Kesehatan dengan kerugian puluhan triliun rupiah tersebut. Kalau berstatus perusahaan, mungkin sudah gulung tikar.

Salah satu sumber pemasukan andalan BPJS Kesehatan adalah iuran para peserta. Saya tidak tahu apakah ada sumber-sumber lainnya, entah dari APBN dan sebagainya dan berapa jumlahnya. Akan tetapi muara pengeluarannya bisa dikatakan jauh lebih banyak.

Sedikit merinci, pengeluaran yang dimaksud misalnya klaim biaya pengobatan dan perawatan pasien, biaya operasional (gaji direksi, pengawas, komite, karyawan, sewa gedung, kendaraan, listrik, air, ATK, dan lain-lain). Bahkan konon tersiar kabar, gaji direktur utamanya disebut sebesar Rp 300-530 juta.

Bayangkan, sepertinya anggaran BPJS Kesehatan lebih banyak terbuang di pembiayaan operasional. Sekali lagi BPJS Kesehatan bukan perusahaan yang bisa membuat jaringan bisnis untuk menopang keuangannya.

Lalu apa solusi terbaik bagi BPJS Kesehatan yang sedang sekarat ini? Apakah sebaiknya dibubarkan saja? Saya pribadi setuju, daripada rugi terus-menerus akhirnya yang dikorbankan adalah masyarakat dan pihak rumah sakit (karena terlambat cairkan dana klaim).

Menurut pendapat saya, harusnya dari dulu BPJS Kesehatan itu fokus saja mengurus masyarakat miskin (kurang mampu) dan tidak menggunakan istilah kelas A, B, C dan seterusnya. Artinya perlakuan, jenis dan kualitas pelayanan tetap sama.

Mengapa orang-orang kaya harus diikutsertakan padahal mereka sebenarnya sanggup mengurus dirinya sendiri? Belum lagi orang-orang yang rajin bayar iuran belum tentu merasakan manfaatnya, dan di lain pihak ada mereka yang rutin mendapat pelayanan (yang mungkin saja bukan orang miskin).

Menyangkut besaran iuran juga wajib dibebankan terukur dan terencana. Jangan seperti sekarang yang sebentar lagi akan dinaikkan. Kok pengelolaan dana BPJS Kesehatan kalah dengan pengelolaan Dana Haji?

BPJS Kesehatan harus melayani ratusan juta masyarakat Indonesia dengan dana terbatas dan manajemen keuangan konvensional. Bagaimana bisa? Wajar dibubarkan, bukan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun