Betul, menteri adalah pembantu presiden. Tapi jangan lupa, mereka dipilih sebagai perpanjangan tangan presiden dalam melayani rakyat. Bukan sebatas pelayan presiden yang menghamba.
Dan barangkali pertanyaan balik berikutnya ke saya yakni: Bukankah setelah partai politik selesai menyeleksi kadernya, masih ada seleksi lanjutan lagi dari presiden yang berlaku sama juga terhadap mereka yang berasal dari luar koalisi (kubu mantan penantang dan kalangan non partai)?
Saya percaya presiden bakal tetap melakukan seleksi lanjutan. Tidak mungkin presiden langsung menerima semua nama, mengingat yang diusulkan jumlahnya banyak, sedangkan nomenklatur kementerian terbatas.
Akan tetapi apa salahnya bila hal itu dilakukan secara terbuka dengan melibatkan sebuah pansel independen. Anggota pansel direkrut berdasarkan kebutuhan masing-masing kementerian dan diberi "job description" plus "job specification" yang jelas.
Alur kerja pansel persis sama dengan yang berlangsung di KPK, misalnya berkonsultasi dengan presiden, menginventarisir kementerian apa saja yang diperlukan, menyusun syarat atau kriteria yang wajib dipenuhi oleh para calon (soal jatah parpol dan non parpol, keterwakilan gender, akomodasi kaum milenial) hingga mengadakan proses seleksi (latar belakang pendidikan, paham/ ideologi yang dianut, riwayat kasus hukum yang membelit, dan sebagainya; membaca dan mendengar paparan program), dan seterusnya.
Nama-nama calon yang dinyatakan terbaik (lulus atau setengah lulus) kemudian diserahkan kepada presiden untuk dipilih. Dari hasil seleksi, Jokowi bakal menemukan calon-calon yang berkapasitas dan berintegritas.
Sekali lagi menurut saya, menjaring dan memilih menteri seharusnya dilakukan seketat mungkin. Anda tahu mengapa paket kabinet jarang ada yang 'kompak' sampai akhir periode? Sila beri jawaban.
Kalau di KPK saja ada pansel, di proses penjaringan menteri mengapa tidak? Maukah Pak Jokowi membentuk pansel independen yang saya maksud? Semoga.
***