Mohon tunggu...
Tuhombowo Wau
Tuhombowo Wau Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

tuho.sakti@yahoo.co.uk

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Sulit bagi "Dewi Fortuna" Memihak Prabowo-Sandi

22 Juni 2019   14:11 Diperbarui: 22 Juni 2019   14:33 2414
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kurang lebih enam hari lagi putusan majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK) atas sengketa Pilpres 2019 akan diumumkan, tepatnya pada 28 Juni 2019. Setelah mengadakan sidang sebanyak lima kali, akhirnya majelis hakim akan berpikir keras, beradu argumen dan kemudian bermusyawarah memutuskan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) mana yang berhak memenangkan pertarungan Pilpres 2019.

Mewakili jajaran majelis hakim, pada penutupan sidang kelima, Ketua MK Anwar Usman berjanji kepada seluruh pihak (pemohon, termohon, terkait, Bawaslu, dan seluruh rakyat Indonesia) akan mencari kebenaran dan keadilan berdasarkan seluruh keterangan yang diperoleh.

"Insya Allah apa yang (disampaikan) bapak-bapak pemohon, termohon, terkait, termasuk Bawaslu akan menjadi dasar bagi kami mencari kebenaran, berijtihad, untuk mencari kebenaran dan keadilan," kata Anwar (21/6/2019).

Perlu diketahui bahwa apa pun yang menjadi keputusan majelis hakim bersifat final, mengikat dan tidak dapat diganggu gugat. Siapa pun wajib berbesar hati dan berkepala dingin menerima. Tidak ada lagi ruang tawar-menawar, apalagi ada upaya baru dari pihak tertentu untuk memaksakan kehendaknya.

Sekadar mengingatkan, jumlah hakim yang menyidangkan sengketa sebanyak sembilan orang. Sama seperti jumlah hakim pada sengketa-sengketa sejenis sebelumnya, tidak berbeda karena memang jumlahnya ditetapkan demikian. Namun apa yang berbeda, misalnya jika dibandingkan antara peristiwa sengketa Pilpres 2014 dengan sengketa Pilpres 2019?

Bedanya adalah wajah majelis hakim saja. Ada wajah lama, dan ada pula wajah baru. Kemudian ketua majelis hakim, di mana pada Pilpres 2014 diemban oleh Hamdan Zoelva, dan pada Pilpres 2019 diemban oleh Anwar Usman.

Wajah lama yang dimaksud adalah Anwar Usman, Aswanto, Arief Hidayat, dan Wahiduddin Adams. Sedangkan wajah baru yaitu I Dewa Gede Palguna, Suhartoyo, Manahan M P Sitompul, Saldi Isra, dan Enny Nurbaningsih. Intinya ada lima hakim yang punya pengalaman baru menyidangkan sengketa Pilpres. Meskipun baru bukan berarti kelimanya kurang mumpuni, mereka pasti sudah sangat siap, karena terbukti mereka lolos menjadi "wakil Tuhan".

Gambar: mkri.id
Gambar: mkri.id
Keempat hakim lama tentu sudah cukup banyak "makan garam" dalam menyelesaikan sengketa yang sama. Mereka kembali dipertemukan dengan capres yang punya persoalan sama, yakni masalah Pilpres. Belum lagi dalil gugatan dan tuntutan yang hampir mirip. Mereka mestinya dengan mudah mengidentifikasi dan menginventarisir seluruhnya. 

Walaupun demikian, keempat hakim tadi tidak serta merta akan menggunakan pengalamannya pada sengketa Pilpres 2014 ke Pilpres 2019. Mereka wajib berkolaborasi dengan lima hakim lain. Semoga mereka semua senantiasa berada dalam tuntunan Tuhan.

Kembali pada pokok pembahasan sesuai judul artikel ini. Mengapa permohonan (gugatan dan tuntutan) Prabowo-Sandi mungkin sulit dikabulkan majelis hakim?

Seperti yang sudah disebutkan pada paragraf kedelapan tulisan ini bahwa, sesungguhnya sengketa Pilpres 2019 mirip dengan sengketa Pilpres 2014. Bukan saja capresnya yang sama, namun persoalannya pun demikian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun