Mohon tunggu...
Tuhombowo Wau
Tuhombowo Wau Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

tuho.sakti@yahoo.co.uk

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Logika Sederhana Penyelesaian Sengketa Pemilu

15 Juni 2019   18:46 Diperbarui: 19 Juni 2019   01:11 1298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sidang Perdana Sengketa Pilpres 2019 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Jumat (14/6/2019). (KOMPAS.COM/ KRISTIANTO PURNOMO)

Saya kurang paham bagaimana tata beracara di Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai urusan penyelesaian sengketa penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu), utamanya pemilihan presiden dan wakil presiden. 

Meski demikian saya memahaminya secara sederhana seperti berikut: sebelum sebuah permohonan sengketa diajukan ke MK, selayaknya beberapa tahap yang kian diatur menurut Undang-undang mestinya sudah dilalui dengan benar. 

Maksudnya tidak semua persoalan ujung-ujungnya harus disidangkan untuk diselesaikan di MK. Kalau harus di MK, buat apa lembaga-lembaga lain diberi tanggungjawab, khususnya untuk menangani persoalan yang berasal dari tingkat bawah.

Masyarakat paham bahwa dalam penyelenggaran pemilu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara utama tidak bekerja sendirian. KPU bekerjasama dengan yang namanya Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). 

Bawaslu pun diberi tugas untuk mengawasi seluruh proses pelaksanaan Pemilu yang dilakukan oleh KPU. Artinya tidak hanya berdiam diri menerima laporan atau aduan dari masyarakat, namun Bawaslu juga pro aktif menyisir hal-hal yang dianggap berpotensi sebagai pelanggaran Pemilu.

Bawaslu wajib bertindak meski tidak berdasar pada aduan, tapi juga dari hasil temuan atau penelusuran mereka. Kesimpulannya KPU dan Bawaslu bersinergi bagaimana menciptakan proses pelaksanaan Pemilu yang fair, adil dan jujur.

Alur sederhananya adalah KPU bekerja dan Bawaslu mengawasi pekerjaan itu. Sekali lagi Bawaslu diberi tanggungjawab sepenuhnya oleh negara untuk mengawasi proses pelaksanaan Pemilu. Di samping mengawasi, Bawaslu juga diberi wewenang menilai kasus, diputuskan apakah tergolong sebagai pelanggaran atau tidak.

Kemudian untuk memastikan proses pelaksanaan dan pengawasan Pemilu berjalan sesuai kaidah, di atas KPU dan Bawaslu ada pula yang namanya Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dan Dewan Kehormatan Bawaslu (DK-Bawaslu).

DKPP berwewenang mengawasi pekerjaan KPU, menilai, hingga menjatuhkan sanksi. Sanksi di sini dalam ranah disiplin, antara lain berupa teguran hingga pemecatan komisioner. Sama seperti DKPP, DK-Bawaslu juga memiliki kewenangan serupa. Namun untuk urusan sanksi ranah pidana, hal itu wewenang Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu).

Jadi artinya kehadiran lima lembaga di atas sesungguhnya sudah cukup efektif untuk memastikan bahwa seluruh proses pelaksanaan Pemilu telah berjalan sesuai harapan dan aturan.

Pertanyaannya, bagaimana dengan penyelesaian sengketa hasil Pemilu, itu wewenangnya siapa? Itu adalah wewenangnya Mahkamah Konstitusi. Harus diperjelas lagi, MK hanya berwewenang menyidangkan serta menyelesaikan sengketa hasil, bukan proses.

Sekadar mengingatkan bahwa, menurut Undang-undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945), MK mempunyai 4 kewenangan dan 1 kewajiban, antara lain: menguji undang-undang terhadap UUD 1945; memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945; memutus pembubaran partai politik; memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga melakukan pelanggaran (impeachment). 

Kalau dilihat betul, di antara kelima kewenangan dan kewajiban di atas, tidak ada satu pun yang berkaitan dengan urusan proses Pemilu. Dan ini bukan tanpa dasar, karena memang tugas menangani proses merupakan kewenangan lembaga lain. Itulah alasan mengapa akhirnya hasil keputusan di MK bersifat final dan mengikat.

Tapi sila saksikan apa yang terjadi selama ini, sepertinya MK ingin 'diseret' mengambil alih tugas lembaga lain. MK dipaksa menelusuri dari awal sejak pelaksanaan proses sampai penetapan hasil Pemilu. Bukankah ini terlihat aneh?

Misalnya saja pada sengketa Pilpres 2019 kali ini, salah satu kubu pasangan calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) meminta agar MK ikut terjun menilai prosesnya karena dinilai penuh pelanggaran yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM).

Menurut saya, jika kubu paslon capres-cawapres tersebut mau mempermasalahkan proses, seharusnya diadukan kepada Bawaslu, atau kalau perlu ke DKPP, bukan ke MK.

Saya juga lagi-lagi kurang paham, bagaimana bisa dalam permohonan sengketa, yang dijadikan sebagai termohon adalah KPU. Bukankah seharusnya DKPP atau DK-Bawaslu?

Alasannya adalah urusan pengawasan proses merupakan tugas dari dua lembaga itu. Sehingga ketika ada persoalan selama proses pelaksanaan Pemilu, dua lembaga itulah yang wajib memberi jawaban atau klarifikasi. Umpamanya apakah betul terjadi pelanggaran TSM atau tidak. Apakah mereka sudah melaksanakan tugas dengan baik atau belum. Jadi dua lembaga itu tidak boleh "cuci tangan".

Dan seandainya pun tetap MK yang diberi kepercayaan menyidangkan, maka dua lembaga itu pula yang harus dihadirkan sebagai termohon. Namun alangkah baiknya jika ada "hakim khusus" untuk itu agar MK tidak pusing.

Masuk akalkah jalan pikiran saya?

***
Referensi: [1] [2] [3] [4] [5] [6]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun